Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendanaan Lembaga Bank Dunia untuk gas fosil dinilai sebagai bencana berlipat ganda untuk harga energi, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan.
Penelitian terbaru dari kelompok masyarakat sipil di Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh mengungkapkan praktik yang mendorong ketergantungan negara-negara terhadap gas fosil alih-alih memberikan dukungan untuk transisi menuju energi yang berkelanjutan dan terbarukan justru memberikan dampak besar hingga 1.5°C pemanasan global.
Studi kasus yang dirilis oleh kelompok sipil di Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh ini juga menunjukkan bagaimana Lembaga Bank Dunia justru mendorong ketergantungan negara terhadap gas fosil daripada menyediakan dukungan untuk proses transisi kepada energi yang berkelanjutan dan terbarukan.
Baca juga: Mengapa Fosil Bisa Awet Selama Ribuan Tahun?
Peneliti Trend Asia Indonesia Andri Prasetiyo menyebutkan perencanaan infrastruktur gas yang baru melingkupi pembangkit listrik tenaga gas, saluran pipa, pelabuhan, terminal impor gas alam cair dan pabrik regasifikasi.
Hal itu justru akan menghambat upaya “nyata” transisi keenergi bersih dan terbarukan oleh Indonesia. "Selain berdampak besar terhadap lingkungan dan kesehatan, emisi metana dari proyek tersebut akan berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia di tengah krisis iklim dunia,” kata Andri dalam pernyataan persnya yang diterima Tribun, Rabu (11/5/2022).
Anggota Alternative Law Collective Pakistan, Zain Moulvi menyebutkan Bank Dunia harus mengakui bahwa kebijakan mereka untuk mendukung infrastruktur gas fosil dan gas alam cair adalah sebuah kesalahan yang sangat merugikan.
Hal itu juga berkontribusi besar pada ketergantungan Pakistan terhadap impor gas alam cair di masa kini dan juga harga tunai yang sangat mahal oleh pihak penyedia.
Tidak hanya Pakistan , masalah gas di Bangladesh Bank Dunia harus membuat penghapusan referensi apapun terkait eksplorasi sumber daya gas lokal dan impor gas alam cair sebagai prioritas dalam kerangka kerja sama negara Bangladesh Tahun 2022-2026.
"Bank Dunia harus segera melakukan reorientasi terhadap prioritas dan pendanaannya untuk mengakselerasi transisi energi bersih berdasarkan prinsip pencemar membayar," ujar Zain.
Peneliti Recourse Belanda, Fran Witt juga menambahkan penelitian-penelitian ini juga menemukan bahwa Lembaga Bank Dunia tidak berkonsultasi secara sistematis dengan masyarakat sipil di negara di mana mereka beroperasi.
Baca juga: Toyota Astra Motor Dukung Peralihan Kendaraan dari Berbahan Bakar Fosil ke Listrik
Karena itu pihaknya mendesak Bank Dunia untuk mengadakan dialog transparan dan terbuka untuk merespon kebutuhan energi lokal dan isu-isu lingkungan terkait.
"Keterbukaan dan transparansi juga harus selalu ditanamkan dalam persiapan pendanaan dan bantuan teknis kebijakan pembangunan Bank Dunia yang baru, serta dalam investasi dan pinjaman modal oleh Korporasi Keuangan Internasional yang justru mendukung pengembangan gas fosil di dunia,” ujarnya.
Lembaga Bank Dunia juga harus menggunakan sumber dayanya yang terbatas untuk mendukung pemerintah negara dalam upaya akselerasi transisi dari gas fosil dan gas alam cair impor dengan memfokuskan arah kebijakannya dan memastikan ketahanan energi secara jangka panjang.
Ini akan mencakup penekanan pada energi terbarukan dan penyimpanannya, termasuk fleksibilitas dan peningkatan jaringan di masa mendatang.
Tidak boleh ada kemunduran dalam komitmen mengatasi krisis iklim, menghapuskan bahan bakar fosil dan juga gas fosil.
Target ini harus menjadi prioritas utama apabila Lembaga Bank Dunia benar-benar serius ingin menyelaraskan tujuan dengan target dari perjanjian.
Diketahui, Bank Dunia dan cabang sektor privatnya (Korporasi Keuangan Internasional) mempertahankan dukungannya terhadap infrastruktur gas fosil dan gas alam cair melalui pendanaan untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas, saluran pipa, dan pabrik regasifikasi gas alam cair di Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan.
Baca juga: Bank Mandiri Salurkan Kredit ke Sektor Infrastruktur Sebesar Rp 226,8 Triliun di Kuartal I-2022
Kedua lembaga tersebut bertanggung jawab atas model energi berbasis gas yang tidak berkelanjutan dan mudah menguap di negara-negara ini.
Terdapat sebesar US$379 miliar infrastruktur gas baru yang direncanakan di Asia yang terancam menjadi aset terdampar.
Namun demikian, bangsa-bangsa di dunia mulai beralih dari bahan bakar fosil untuk memenuhi target Perjanjian Paris.
Investasi gas yang terencana di Asia terdiri dari US$189 miliar pembangkit listrik berbahan bakar gas, US$54 miliar saluran pipa gas, dan US$136 miliar terminal ekspor-impor gas alam cair.
Apabila direalisasikan dan dioperasikan dalam kapasitas penuh, seluruh infrastruktur tersebut akan berdampak besar terhadap terjadinya pemanasan global.
Untuk Indonesia sendiri strategi Bank Dunia mendukung akselerasi pemanfaatan gas alam dan biogas.(Willy Widianto)