Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, ada dua isu yang akan menjadi penggerak nilai tukar rupiah hingga berpeluang melemah ke Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sentimen pertama yakni soal Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang masih akan agresif menaikkan suku bunga acuannya di bulan-bulan mendatang.
"Di Juli, The Fed masih membuka peluang kenaikan 75 basis poin. Di tengah sentimen The Fed tahun ini dan isu inflasi serta resesi, peluang pelemahan rupiah ke Rp 15.000 masih terbuka tahun ini," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, ditulis Senin (20/6/2022).
Baca juga: Pekan Depan, Laju Rupiah Diprediksi Masih Akan Tertekan
Sementara faktor kedua yakni isu inflasi dan resesi, di mana seperti diketahui perang di Ukraina masih mendorong kenaikan harga barang.
"Bank-bank Sentral Dunia serempak menaikkan suku bunga acuan, yang menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dikhawatirkan bisa menekan pertumbuhan ekonomi," kata Ariston.
Karena itu, Bank Indonesia diharapkan merespons kebijakan The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan agar jaraknya tidak menyempit, sehingga rupiah bisa tidak semakin melemah terhadap dolar AS.
Baca juga: Fed Janjikan Pendekatan Tanpa Syarat Untuk Turunkan Inflasi
Kemudian, pemerintah diharapkan bisa mengendalikan inflasi yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi, sehingga kepercayaan terhadap rupiah meningkat.
"Adapun kalau isu-isu ini mereda, rupiah bisa kembali menguat, apalagi indikator ekonomi indonesia masih bagus seperti inflasi dan neraca perdagangan. Inflasi Indonesia memang perlahan naik, tapi masih di dalam target Bank Indonesia, dan neraca perdagangan sudah surplus selama 25 bulan beruntun," pungkasnya.
Harga Emas Hingga Perak Langsung Menguat Pasca The Fed Kerek Suku Bunga 0,75 Poin
Kebijakan The Fed menaikkan suku bunga hingga mencapai 0,75 poin membuat harga emas dan perak terkerek naik. Harga emas naik 1 persen dalam perdagangan Kamis malam (16/6/2022).
Kenaikan ini terjadi imbas dari amblesnya kurs dolar AS akibat adanya kebijakan agresif bank sentral The Fed. Melemahnya dolar AS telah memicu aksi jual pada mata uang tersebut, hingga membawa safe-haven pada harga logam.
Reuters mencatat harga emas di pasar spot dalam 24 jam terakhir naik 0,9 persen hingga menyentuh harga 1.849,21 per ons troi. Sementara harga emas berjangka AS melonjak sekitar 1,7 persen menuju 1.849,90.
"Karena reli dolar telah mencapai puncaknya dan investor sekarang mencari tempat yang aman, perdagangan emas terlihat cukup menarik," jelas Edward Moya analis senior OANDA, perusahaan finansial asal AS.
Baca juga: Terdampak Bear Market, Penambang Bitcoin Pilih Tutup Akun
Secara historis, pergerakan harga emas sangat dipengaruhi oleh volatilitas dolar. Ketika kurs dolar turun maka harga emas naik, begitupun sebaliknya. Hal inilah yang membuat emas menjadi salah satu instrumen investasi paling aman, lantaran harganya stabil dan cenderung naik. Berbeda dengan aset investasi lainnya seperti obligasi dan saham yang sangat sensitif akan pergerakan kurs .
Adanya inflasi serta ketidakpastian ekonomi di pasar global, hingga membuat investor melakukan aksi jual tajam pada bursa Wall Street disinyalir juga menjadi faktor pendukung atas meningkat harga emas di pasar spot.
Namun apabila kebijakan The Fed yang menaikkan suku bunga dapat memerangi inflasi dan mengembalikan penguatan pada dolar AS maka nilai jual emas akan kembali melemah.
“Iming-iming safe-haven emas bisa memudar, jika Federal Reserve berhasil memerangi inflasi tanpa mendorong Amerika Serikat ke dalam resesi” kata Carsten Menke, kepala Penelitian di perbankan Swiss, Julius Baer.
Kenaikan harga logam imbas kebijakan The Fed tak hanya terjadi pada emas saja.
Hal ini juga berlaku pada beberapa produk logam lainnya seperti perak yang naik 1,2 menjadi 21,90 dolar AS per ounce pada perdagangan spot, kemudian ada platinum yang menguat sebanyak 1,3 persen menjadi 951,52 dolar AS, dan disusul oleh palladium yang terkerek naik 1,4 persen menjadi 1,887,50 dolar AS.
Investor Asing Masih Borong Saham di BEI
Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed telah menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 75 basis poin (bps) menjadi 1,5 persen hingga 1,75 persen dan menjadi kenaikkan tertinggi sejak 1994.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat tren suku bunga tinggi di AS belum berdampak pada pasar saham di Indonesia.
Investor asing masih mencatatkan beli bersih Rp 70,58 triliun sampai akhir pekan lalu. "Investor (asing) masih melakukan pembelian bersih saham di Indonesia," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, Jumat (17/6/2022).
Baca juga: Prediksi Perkembangan IHSG di Tengah Rencana Rapat Dewan Gubernur BI Pekan Depan
Bhima mengungkapkan ada beberapa alasan investor asing masih belanja di pasar saham tanah air, pertama yakni sudah melakukan price-in, atau bisa menebak bahwa inflasi Amerika tinggi akan disusul oleh kenaikan tingkat suku bunga dari The Fed.
"Kedua, sebenarnya kenapa masih cukup positif, ya karena dibanding 2013 pada saat terjadinya taper tantrum, saat ini situasi current account defisit di Indonesia jauh lebih baik," katanya.
Selain itu, neraca perdagangan dalam posisi surplus, dan cadangan devisa masih bisa untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Kendati demikian, menurutnya dalam beberapa pekan ke depan ini, yang masih ditunggu-tunggu adalah respon dari bank sentral di negara lainnya.
"Di Kanada, kemudian di Inggris. Bagaimana melihat tren kenaikan suku bunga Amerika ini, apa akan menyusul," pungkas Bhima.