News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sri Lanka Bangkrut

Sederet Fakta Penyebab Bangkrutnya Sri Lanka, Utang Luar Negeri Bengkak hingga Krisis Bahan Bakar

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Angkutan umum antre membeli BBM di Sri Lanka.Sri Lanka bangkrut akibat krisis ekonomi. Mutiara dari Samudera Hindia itu, gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai 51 miliar dolar AS atau Rp 757,2 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).

Wickremesinghe mengatakan Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor karena utang yang besar dari perusahaan minyak negara tersebut. Ceylon Petroleum Corporation disebut memiliki utang 700 juta dolar AS atau setara dengan Rp 10,3 triliun (kurs Rp14.847 per dolar AS).

"Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang mau menyediakan bahan bakar untuk kami. Mereka bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai," ujar Wickremesinghe dikutip dari AP.

4. Kekurangan Mata Uang Asing Sebabkan Gagal Panen

Krisis ekonomi yang menyakitkan di Sri Lanka dipicu oleh kekurangan mata uang asing, membuat para pedagang tidak mampu membayar impor penting, termasuk pupuk. Krisis tambah buruk saat Pemerintah Sri Lanka pada April tahun lalu mengeluarkan kebijakan melarang penggunaan pupuk kimia.

Kebijakan tersebut, lantaran Sri Lanka ingin dikenal sebagai bangsa pertanian organik. Perubahan kebijakan yang drastis menyebabkan pertanian Sri Lanka yang masih ditopang pupuk kimia menjadi kelimpungan. Petani gagal panen karena pupuk organik ternyata tidak siap.

Dilansir dari Newsfirst.lk, lahan pertanian Sri Lanka yang biasanya menghasilkan 4,5 ton padi per hektar kini hanya mampu 2,8 ton per hektar. Dari total 708.000 hektar, hanya sekitar 400.000 hektar yang bisa dipanen. Sisanya gagal.

Baca juga: Penyebab Sri Lanka Bangkrut, Kini Hadapi Krisis Ekonomi Terburuk sejak Kemerdekaan

5. Janji Kampanye

Kebangkrutan Sri Lanka ini dihubungkan dengan janji dari presiden terpilih, Gotabaya Rajapaksa. Menjelang pemilihan November 2019, Gotabaya mengusulkan pemotongan pajak besar-besaran sehingga pemerintah petahana mengira itu pasti gimmick kampanye.

Menteri Keuangan saat itu, Mangala Samaraweera, mengadakan briefing untuk menyerang janji "berbahaya" yakni mengurangi pajak pertambahan nilai dari 15 persen menjadi 8 persen dan menghapus pungutan lainnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini