TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), A Deni Daruri mengingatkan kondisi krisis ekonomi di Sri Lanka berpotensi menjalar ke Indonesia.
Deni mengingatkan agar tim ekonomi yang dipercaya Presiden Jokowi harus bekerja keras dan ekstra hati-hati.
"Kondisi saat ini, membuat para menteri tidak bisa santai. Semuanya harus kerja keras dan cerdas," kata Deni Daruri dalam keterangannya, Rabu (29/6/2022).
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Mengalami Kontraksi1,6 Persen di Kuartal Pertama 2022
Namun Deni juga menyoroti kinerja tim ekonomi yang dinilainya terlalu banyak politisi sehingga lebih mencerminkan bagi-bagi kursi, ketimbang profesionalitas.
Di sisi lain, menurutnya, tantangan bagi negeri ini ke depannya cukup berisiko.
Kata Deni, upaya membangun perekonomian yang kuat diperlukan orang yang tepat.
Artinya, profesionalisme dalam birokrasi menjadi wajib hukumnya.
"Indonesia perlu kembali ke paham the right man on the right job. Karena masalahnya adalah masalah ekonomi maka perbanyak menteri yang paham ekonomi," tuturnya.
"Caranya sederhana, menjadikan PhD economics lulusan Ivy League atau universitas non-Ivy yang memiliki kaliber yang sama seperti MIT, Berkeley, Davis, dan Stanford," imbuh Deni.
Kata Deni, krisis ekonomi kali ini, berbeda untuk setiap negara.
Di mana, sumber inflasi akibat mahalnya biaya (cost push inflation).
Baca juga: Jokowi Dorong Penguatan Kerja Sama Ekonomi dengan Kanada
Inflasi karena biaya kemungkinan disebabkan oleh kenaikan biaya barang atau jasa penting, di mana, tidak ada alternatif yang sesuai.
Ketika bisnis menghadapi harga tinggi karena bahan baku, maka pengusaha terpaksa menaikkan harga output.
"Salah satu contoh inflasi dorongan biaya adalah krisis minyak era 1970-an, yang oleh beberapa ekonom dipandang sebagai penyebab utama inflasi global."
Padahal, kata dia, inflasi dihasilkan dari kenaikan harga minyak yang dipatok OPEC.
Karena minyak bumi sangat penting bagi industri, kenaikan harga yang besar dapat menyebabkan kenaikan harga barang.
Beberapa ekonom berpendapat, kenaikan harga seperti saat ini, menaikkan tingkat inflasi dalam periode yang lebih lama. Karena, ekspektasi adaptif dan spiral harga/upah, sehingga guncangan penawaran dapat memiliki efek yang terus-menerus( stagflation)
Untuk mengatasi hal ini, menurutnya, pemerintah harus berorientasi menciptakan sumber energi dengan biaya marginal sebesar nol.
Untuk itu Pemerintah harus mengembangkan sumber energi berbasis matahari dan angin sehingga ketergantungan kepada energi fosil yang harganya meningkat dapat dieliminir.
Baca juga: Delegasi AS Tiba di Sri Lanka, Jajaki Bantuan Ekonomi Lewat Dialog 3 Hari
Langkah kedua, lanjutnya, pemerintah harus menciptakan monopoli alamiah dalam produksi energi fosil dan makanan.
"Terapkan harga sebesar biaya marginal yang paling murah."
"Dalam krisis kali ini, maka energi dan produsen makanan juga dapat dilibatkan untuk menekan inflasi dari sisi biaya. Karena kelangkaan sumber daya, skala ekonomi, dan cakupan manfaat ekonomi."
Ia menambahkan, kemungkinan perusahaan yang menyediakan satu produk dan layanan atau perusahaan yang secara bersama-sama menyediakan sebagian besar produk dan layanan akan membentuk perusahaan (monopoli) atau sejumlah kecil perusahaan (oligopoli) sangat mungkin terjadi.
Dia bilang, inflasi dapat dikendalikan ketika biaya marginal untuk memproduksi energi dan makanan dibuat menjadi nol dan menciptakan harga pada biaya marginal yang paling rendah melalui natural monopoli untuk produk energi dan makanan yang tidak dapat diproduksi dengan biaya marginal sebesar nol.