Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, COLOMBO - Perdana Menteri (PM) Sri Lanka Ranil Wickremesinghe pada Rabu kemarin mengatakan inflasi telah melonjak dan pemerintah negara itu harus berhenti mencetak uang tahun depan.
Menurutnya, masyarakat saat ini mengalami kesulitan karena biaya hidup yang melonjak akibat pencetakan uang.
Dikutip dari laman www.dailynews.lk, Kamis (30/6/2022), ia pun menyampaikan bahwa para ekspatriat pun masih menggunakan sistem 'Undial' untuk mengirim uang ke Sri Lanka.
Baca juga: Bank Dunia akan Desain Ulang 17 Proyek yang sedang Berjalan di Sri Lanka
Sementara itu di sisi lain, Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan, saat ini sedang mengharapkan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).
Sumber internal IMF pun menyebut negara itu akan segera menerima pinjaman sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Pinjaman ini disebut akan diberikan untuk disimpan sebagai cadangan devisa.
Langkah ini diharapkan dapat memfasilitasi lembaga pemberi pinjaman internasional untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara itu agar bisa mengimpor obat-obatan, bahan bakar, gas dan komoditas penting lainnya.
Ekonomi Sri Lanka Mengalami Kontraksi1,6 Persen di Kuartal Pertama 2022
Departemen Sensus dan Statistik (DCS) Sri Lanka mengatakan ekonomi negara itu mengalami kontraksi sebesar 1,6 persen pada kuartal pertama tahun 2022.
"Tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) year on year (yoy) untuk kuartal pertama tahun 2022 diperkirakan negatif 1,6 persen yang mengindikasikan kontraksi ekonomi yang cukup besar dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2021," jelas DCS.
Dikutip dari Adaderana.lk, Rabu (29/6/2022), pada awal 2022, perekonomian Sri Lanka mulai membaik secara perlahan, setelah melewati masa sulit akibat pandemi virus corona (Covid-19) pada 2020 dan 2021, dengan ekspektasi baru pemulihan ekonomi.
Baca juga: 26 Layanan Kereta Api di Sri Lanka Dibatalkan karena Kekurangan Pasokan Bahan Bakar
Mirisnya, pada triwulan I tahun 2022, laju pertumbuhan ekonomi dilaporkan melambat dibandingkan triwulan I tahun sebelumnya.
"Ini merupakan akibat dari pengaruh beberapa faktor seperti inflasi, devaluasi valas dan defisit dolar," tegas DCS.