Laporan Wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri menyoroti penanganan aset BLBI oleh pemerintah.
Deni Daruri menyarankan Menteri Keuangan, Sri Mulyani belajar dari Amerika Serikat (AS) terkait penyelamatan uang negara dari skandal BLBI.
Kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/7/2022), dia menyarankan Sri Mulyani belajar Timothy Geithner, mantan menteri keuangan AS.
"Di negeri Paman Sam, tanpa penyitaan aset, recovery asset TARP (BLBI-nya AS) bisa di atas 100 persen. Artinya, uang negara yang berhasil diselamatkan cukup tinggi," kata Deni.
Baca juga: Upaya Kejar Aset Obligor BLBI Kerap Tak Maksimal, Pemerintah Disarankan Pilih Cara Negoisasi
Sebagai informasi, Timothy Geithner adalah presiden Federal Reserve Bank of New York dan kemudian menjadi Menteri Keuangan saat krisis berlanjut dari tahun 2008.
Dia boleh dibilang pakar recovery rate dunia. Geithner mengajari dunia termasuk IMF dengan recovery assets di tengah krisis ekonomi di atas 100 persen.
Pada 2018, TARP tidak membebani pembayar pajak di Amerika Serikat seperser pun.
Sebaliknya, Departemen Keuangan AS menerima 3 miliar dolar AS lebih banyak dari 439,6 miliar dolar AS yang dicairkan. Dari jumlah itu, 376,4 miliar dolar AS telah dilunasi bank, perusahaan otomotif, dan AIG.
Baca juga: Pengamat Nilai Kinerja Tim Satgas BLBI Kurang Profesional
Apa saja hasil positif dari TARP? Kata Deni, bank dan industri mobil bertahan. Kredit bisa meningkat.
"Timothy tidak mencontoh kekeliruan Geithner, Korea Selatan, dan Thailand dalam mengelola recovery assets di tengah krisis dengan recovery rate yang sangat rendah," katanya.
Sebaliknya, kata Deni, Geithner menjadikan ekonomi sebagai panglima di atas pendekatan hukum.
Program Bantuan Aset Bermasalah (TARP) dilembagakan oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat setelah krisis keuangan 2008.
TARP menstabilkan sistem keuangan dengan meminta pemerintah membeli sekuritas berbasis hipotek dan saham bank.
Dari 2008 hingga 2010, TARP menginvestasikan 426,4 miliar dolar AS di perusahaan dan mendapatkan kembali 441,7 miliar dolar AS.
"Alhasil, perusahaan sekelas Lehman Brother dibangkrutkan agar menjadi pelajaran bagi konglomerat keuangan lainnya untuk patuh kepada pemerintah sebagai panglima ekonomi dan hukum," ungkapnya.
Mengapa Geithner berhasil? Kata Deni, karena dia didukung para doktor dalam ilmu ekonomi lulusan universitas kelas satu dunia.
Jika negara lain sekarang dan di masa depan tidak mampu mencapai recovery rate sebesar minimal 100 persen maka negara itu dapat dikatakan sebagai keledai.
Baca juga: Mahfud MD: Hubungan Lapangan Golf dan 2 Hotel Dengan BLBI yang Disita Satgas Sudah Dilacak PPATK
Departemen Keuangan AS menetapkan beberapa program di bawah TARP untuk membantu menstabilkan sistem keuangan Amerika Serikat, memulai kembali pertumbuhan ekonomi, dan mencegah penyitaan yang dapat dihindari.
Sekali lagi, mencegah penyitaan. Karena, penyitaan adalah langkah tabu dan keliru dalam upaya meningkatkan recovery rate. Lebih baik mereka yang tidak kooperatif dibangkrutkan total ketimbang disita asetnya.
"Namun, Pemerintah Indonesia tidak pernah berani membangkrutkan konglomerat yang nakal karena vested interest dan conflict of interest," tuturnya.
Baca juga: Setahun Beroperasi, Satgas BLBI Kumpulkan Total Aset Rp22,6 Triliun
Motif utama Geithner dalam melakukan bailout adalah keuntungan bagi negara.
Di bidang keuangan, bailout adalah tindakan memberikan modal keuangan kepada perusahaan yang hampir bangkrut.
"Tujuan bailout adalah untuk mencegah perusahaan menjadi bangkrut. Kita juga bisa menggunakan istilah untuk menyelamatkan negara-negara yang berada dalam masalah serius. Terkadang motif dibalik dana talangan adalah keuntungan," ungkapnya.
Sementara di Indonesia, motif utamanya adalah bailout akan merugikan keuangan negara.
Pemerintah Amerika Serikat tidak menyita aset tetapi mengambil alih kontrol perusahaan.
"Inilah yang terjadi jika the right man on the right job dilakukan dengan baik. Semua langkah dan strategi dilakukan dengan teori ekonomi yang benar," pungkas Deni.