Aturan ini membuat PT KAI harus menjadi pihak yang membiayai pembangunan infrastruktur kepada kontraktor dan membayar biaya operasi sarana LRT Jabodebek.
Total nilai proyek LRT Jabodebek sebenarnya membengkak dari Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun. Terdapat dua sumber pendanaan untuk proyek tersebut, yakni penyertaan modal negara (PMN) dan kredit sindikasi dari 15 bank.
PT KAI sendiri terkonfirmasi di akhir tahun 2021 memperoleh PMN yang bersumber dari APBN sebesar Rp 6,9 triliun. Jumlah ini terdiri dari Rp 2,6 triliun untuk proyek LRT Jabodebek dan Rp 4,3 triliun untuk proyek KCJB.
Jadi Beban KAI
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, baik proyek LRT Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada akhirnya akan menjadi beban bagi PT KAI apabila suntikan dana PMN tak kunjung cair.
“Tidak mungkin juga PT KAI memakai dana internal untuk menambal kebutuhan investasinya,” imbuh dia, Senin (11/7).
Khusus untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, apabila PMN belum juga cair sampai tenggat waktu yang ditetapkan, maka kemungkinan proyek ini dapat terhenti dulu pengerjaannya.
Baca juga: Pembengkakan Biaya Proyek Kereta Cepat Tak Terjadi di KCJB Saja? Berikut yang Terjadi di Luar Negeri
Proyek ini sendiri sejatinya ditargetkan selesai dan beroperasi pada Juni 2023 mendatang. Tentunya, hal ini dapat berefek luas ke berbagai pihak.
Ia menambahkan, salah satu jalan alternatif yang bisa ditempuh para pemangku kepentingan adalah segera mencari investor baru untuk bergabung dalam konsorsium yang dipimpin PT KAI.
Memang, di satu sisi upaya ini bisa mengakibatkan efek dilusi kepemilikan saham PT KAI dalam konsorsium proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tapi, di sisi lain ini bisa menjadi pendorong agar proyek tersebut dapat segera selesai.
“Sebisa mungkin dicari investor domestik sehingga proyek ini bisa bermanfaat bagi kepentingan nasional,” pungkas dia. (Kontan/Herlina Kartika Dewi/Vina Elvira/Dimas Andi/Handoyo)