Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tim analis Bareksa memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4 persen di akhir 2022 dari level saat ini 3,5 persen.
Prediksi itu mempertimbangkan ekspektasi inflasi Indonesia tidak melampaui angka 5 persen secara tahunan pada tahun ini.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Juli 2022 sebesar 4,94 persen secara tahunan, atau tertinggi sejak Oktober 2015.
Baca juga: Inflasi RI Diproyeksi Kembali Naik Hingga 4,9 Persen
"Melihat data tersebut, prospek reksa dana saham dan reksa dana indeks masih menarik hingga akhir tahun. Terutama reksa dana berbasis saham berkapitalisasi besar (big caps) yang bergerak di sektor keuangan dan infrastruktur," ujar Chief Operation Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari dalam keterangannya, Senin (1/8/2022).
Dia menjelaskan, saat terjadi fenomena window dressing jelang akhir tahun, sektor tersebut akan diburu investor terlebih dahulu.
“Investor dapat menikmati potensi imbal hasil lebih optimal di dua reksa dana tersebut dengan target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 7.200 hingga 7.400 hingga akhir tahun,” kata Putu.
Investor dapat juga mempertimbangkan untuk akumulasi secara bertahap di reksa dana saham dan reksa dana indeks, jika IHSG mengalami penurunan ke kisaran level 6.500 hingga 6.700.
"Namun untuk saat ini, guna mengantisipasi dampak lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga, investor dapat mendiversifikasi investasinya di reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi," tuturnya.
Baca juga: Inflasi Melangit, IMF Sarankan Beberapa Negara Asia Untuk Segera Kerek Suku Bunga
Selain itu, Putu memprediksi ke depannya harga pangan dan energi akan kembali turun ke level normal seperti saat sebelum masa pandemi, kecuali harga batu bara karena embargo Eropa terhadap batubara asal Rusia.
"Harga batu bara di semester II 2022 diproyeksikan masih berada di kisaran 350 dolar Amerika Serikat (AS) hingga 400 dolar AS per ton," pungkasnya.
Adapun dengan kenaikan harga komoditas tersebut, Indonesia diproyeksikan masih akan mengalami surplus neraca berjalan sekira 0,7 persen hingga 1,2 persen dari PDB tahun ini.