Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, kebijakan terkait pengendalian tembakau harus secara bersama-sama didorong melalui sisi fiskal dan non fiskal.
Analis Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Febri Pangestu berharap kebijakan tarif cukai rokok di Kemenkeu bisa dibarengi oleh kebijakan pengendalian tembakau di sisi non fiskal, yakni melalui rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
"Kami cukup menyambut dengan adanya rencana revisi PP 109 itu agar dapat mendukung dan mempercepat upaya pengendalian tembakau yang lebih efektif," ujarnya dalam webinar "Tobacco Tax in Indonesia: Counting The Lost Rupiahs", Rabu (3/8/2022).
Baca juga: Konsumen Dewasa Dinilai Juga Berhak Dapat Informasi Soal Produk Tembakau Alternatif
Selain itu, Kemenkeu berharap ada satu peta jalan yang bisa mengakomodasi banyak pihak, serta mendukung tujuan pemerintah dalam mengendalikan tembakau.
"Karena apabila pengendalian tembakau hanya ditumpukan pada Kementerian Keuangan ini tidak akan cukup. Namun bila dilakukan secara bersama-sama dengan kementerian terkait dan elemen masyarakat, dapat mempercepat proses pengendalian tembakau," kata Febrio.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Ahmad Yani Riant Nugroho sebelumnya menilai, bahwa pelaku industri hasil tembakau (IHT) perlu dilibatkan terkait revisi PP 109/2012.
Dia menjelaskan, usulan revisi PP 109/2012 tersebut tidak layak dilanjutkan, jika ada kealpaan partisipasi pelaku industri.
"Sebagai objek kebijakan, pelaku IHT harus dilibatkan dari proses awal, penyusunan naskah akademik, hingga keseluruhan proses. Apabila tidak ada keterlibatan dari objek kebijakan secara proses administrasi publik, kebijakan yang dibuat tidak memenuhi kelayakan,” ujarnya.
Pelibatan objek kebijakan, lanjut Riant, merupakan aspek penting dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya terkait akuntabilitas.
Baca juga: Gappri Minta Pemerintah Melindungi Kelangsungan Usaha Industri Hasil Tembakau
Dalam prinsip good governance, akuntabilitas memastikan adanya komunikasi secara detail, rinci, dan komprehensif dengan setiap pihak yang menjadi bagian atau objek dari kebijakan tersebut.
"Sayangnya aspek ini kerap terlupakan oleh pembuat kebijakan publik. Mereka hanya fokus terhadap aspek responsibilitas, yaitu agar kebijakan-kebijakan yang telah dijadwalkan bisa rampung pada waktu dan sesuai anggaran yang ditentukan," katanya.
Dia menambahkan, nirpartisipasi dari objek dan proses penyusunan tidak dinamis, juga hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif.
"Selain itu, berpotensi sebagai pemborosan keuangan negara, bahkan menjurus kepada korupsi kebijakan. Pasalnya, hal ini dapat menimbulkan konflik baru yang tidak perlu, serta ada tugas-tugas baru untuk menyelesaikan konflik tersebut, seperti proses uji materil dengan biaya besar ditanggung negara," tutur Riant.
Baca juga: Akademisi dan Pengusaha Minta Pemerintah Lindungi Industri Hasil Tembakau
Kemudian, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wijaya menambahkan, dirinya menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan pelaku IHT dalam proses revisi PP 109/2012.
“Kami bahkan baru menerima undangan satu hari sebelum uji publik yang diselenggarakan. Proses usulan revisinya saja tidak transparan, belum lagi sampai ke substansinya yang menimbulkan banyak pertanyaan,” pungkasnya.