News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat Sebut Bank Indonesia akan Lanjutkan Normalisasi Suku Bunga untuk Kendalikan Inflasi

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Bank Indonesia. Chief Economist Bahana TCW, Budi Hikmat mengapresiasi langkah Bank Indonesia dalam mengendalikan risiko inflasi sekaligus mengendalikan rupiah melalui berbagai macro-prudential policy seperti dengan menyerap kelebihan likuiditas yang digelontorkan sewaktu pandemi menyerang.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga komoditas energi dan pangan global terpantau masih terus mengalami fluktuasi, efek belum berakhirnya perang di Ukraina.

Chief Economist Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, hal tersebut yang cenderung memicu inflasi akibat dorongan biaya (cost-push inflation) sangat mempersulit otoritas moneter dalam mengendalikan inflasi.

Tidak seperti inflasi karena tarikan permintaan (demand-pull inflation) yang terutama melalui penyaluran kredit, jenis cost-push inflation kurang tepat disikapi melalui pengetatan likuiditas seperti dengan menaikkan suku bunga.

Baca juga: Hadapi Inflasi Akibat Kenaikan Harga BBM, Bank Indonesia Diprediksi Kembali Naikkan Suku Bunga Acuan

Apalagi bila perekonomian baru lepas dari pandemi dan masih membutuhkan stimulus agar bisa tumbuh lebih gegas guna meningkatkan pendapatan masyarakat.

Budi melanjutkan, cost-push inflation umumnya menuntut peningkatan efisiensi penggunaan sumber energi dan dengan memacu produksi dalam negeri khususnya untuk komoditas yang diimpor.

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang pernah menggelar stimulus secara masif dan berlaku sebagai produsen vaksin, peningkatan suku bunga secara signifikan pada hakikatnya merupakan normalisasi suku bunga.

Pasalnya, suku bunga di kedua negara tersebut sudah cukup lama jauh lebih rendah ketimbang inflasi sementara kesempatan kerja relatif kuat seperti yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pengangguran.

"Jadi sangat wajar bila banyak yang kuatir keberhasilan the Fed dan ECB (Bank Sentral Eropa) mengendalikan inflasi harus ditebus dengan risiko resesi," ucap Budi dalam keterangan yang diperoleh, Rabu (21/9/2022).

Menanggapi inflasi di Indonesia, Budi melihatnya terbilang berbeda.

Ia mengungkapkan, Indonesia relatif diuntungkan oleh fenomena inflasi global mengingat kenaikan harga income commodity seperti batu-bara, nikel dan CPO melebihi cost-commodity khususnya minyak mentah.

Pada awalnya pemerintah mengendalikan transmisi inflasi global khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dengan terus meningkatkan alokasi subsidi energi hingga melebihi Rp500 triliun.

Pemerintah punya alasan untuk mengalokasikan subsidi untuk pos yang lebih produktif dan berkeadilan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perumahan.

Budi juga mengapresiasi langkah Bank Indonesia dalam mengendalikan risiko inflasi sekaligus mengendalikan rupiah melalui berbagai macro-prudential policy seperti dengan menyerap kelebihan likuiditas yang digelontorkan sewaktu pandemi menyerang.

BI juga melakukan intervensi di pasar obligasi negara agar kurva imbal hasil untuk memberi acuan bagi perbankan dalam penetapan suku bunga kredit.

Baca juga: Bank Indonesia: Rp150 Miliar Modal Asing Masuk ke Pasar Keuangan Domestik dalam Sepekan

“Bisa dikatakan Bank Indonesia termasuk bank sentral yang menaikkan suku bunga lebih belakangan dibanding bank sentral di negara lain," ucap Budi.

"Namun, langkah BI itu perlu diapresiasi. Selain agar tidak terlambat (behind the curve), normalisasi tingkat suku bunga juga ditujukan untuk menjaga attractiveness aset-aset domestik di mata asing serta menghindari out flow di pasar.

Budi mengatakan, secara timing kenaikan suku bunga pada rapat dewan gubernur BI yang akan datang juga dinilai cukup baik, karena di hari yang sama, The Fed juga diekspektasikan akan menaikkan tingkat suku bunga sebesar 75 hingga 100 bps.

“Dalam jangka pendek, Bahana TCW menilai kondisi ekonomi nasional masih cukup kuat menghadapi kenaikan suku bunga hingga 50 bps hingga akhir tahun 2022," papar Budi.

"Bahana TCW optimistis pertumbuhan ekonomi masih akan positif bahkan dapat menyentuh di atas 5,3 persen,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini