TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 4,25 persen akan berdampak terhadap pengeluaran masyarakat, misalnya terkait kredit atau cicilan di perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 September 2022.
"Rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada tanggal 21 dan 22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen," ucap Perry dalam konferensi pers Bank Indonesia, Kamis (22/9/2022).
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI dapat berimbas pada kenaikan suku bunga kredit, sedangkan di sisi lain daya beli masyarakat masih belum pulih seperti sebelum pandemi Covid-19.
Terlebih pada bulan ini pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang menyebabkan inflasi harga barang dan jasa ikut naik.
Baca juga: Ikuti Jejak The Fed, Bank Indonesia Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 4,25 persen
"Ini berarti masyarakat tertimpa beban ganda. Masyarakat harus mengeluarkan biaya hidup yang lebih mahal karena tertekan inflasi. Sementara dari sisi pendapatan masih belum pulih seperti pra-pandemi, (sekarang) masih banyak yang terdampak dari pandemi," ujar Bhima yang dikutip dari Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan BI yang berdampak pada kenaikan bunga kredit ini akan mendesak masyarakat untuk membayar cicilan yang jauh lebih besar.
Salah satunya untuk kredit konsumtif seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
"Karena harga rumahnya naik, pendapatan tidak bisa mengimbangi kenaikan harga rumah plus bunga pinjaman KPR floating ratenya juga semakin mahal," ucapnya.
Tidak hanya itu, hal ini juga dapat menekan daya beli masyarakat yang tadinya ingin membeli rumah atau kendaraan secara kredit, karena suku bunga kredit naik maka mereka menahan keinginannya tersebut.
"Kalau misalnya mampu membeli rumah, tentu lokasinya akan sangat jauh dari kantor atau tempat kerja mungkin bisa 2 jam perjalanan," tambahnya.
Selain itu kenaikan bunga kredit, kenaikan harga BBM juga dapat menurunkan minat masyarakat untuk mengambil kredit kendaraan untuk tahun ini dan tahun-tahun mendatang.
Hal ini tentu akan memukul sektor usaha otomotif.
"Pada 2014, kenaikan harga BBM itu menurunkan penjualan sepeda motor sampai 14 persen lebih. Sementara saat ini BBMnya sudah naik, bunga untuk leasing sepeda motornya juga akan mengalami kenaikan sehingga menurunkan minat masyarakat untuk mengambil kredit kendaraan bermotor untuk tahun ini dan tahun-tahun akan datang," jelasnya. (Isna Rifka Sri Rahayu/Kompas.com)