TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan kondisi ekonomi dunia masih gelap dan akan melewati masa paling sulit.
Menurut Jokowi, pemerintah Indonesia membutuhkan ketahanan dalam jangka panjang agar tidak terperosok ke dalam jurang resesi.
"Saya selalu sampaikan kepada bu Menkeu, kalau kita punya uang di APBN dieman-eman. Itu bahasa Inggris tuh. Di eman-eman, dijaga, hati-hati," pesan Jokowi dalam UOB Economic Outlook 2023 di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022).
Baca juga: Jokowi Sindir Pejabat Suka Plesiran ke Luar Negeri: Dipamer-pamerin di Instagram
Jokowi mengatakan pengeluaran APBN harus disalurkan ke sektor produktif sehingga menghasilkan return yang jelas.
Hal itu menjadi tugas bendahara negara dan masyarakat turut mengawasi.
Kepala negara Republik Indonesia pun tidak menampik banyak negara di dunia yang mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Pemicunya akibat krisis energi dan krisis finansial dampak dari keberlangsungan perang Rusia-Ukraina.
"Hampir semua negara tumbuh melemah, ekonominya terkontraksi. Setiap hari yang kita dengar krisis energi, krisis minyak, gas, hampir semua negara, krisis finansial," tegas Presiden.
Di tengah ketidakpastian dan tekanan global, APBN masih menjadi shock absorber (peredam kejut) untuk mengantisipasi gejolak tersebut.
Baca juga: Cash Is The King Berlaku Ketika Resesi, Bukan Saat Ancaman Stagflasi
Luka Dalam Pandemi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan efek luka yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 terhadap perekonomian cukup dalam.
Masalah utama imbas pandemi Covid-19 yakni terancamnya jiwa manusia sehingga pemerintah membatasi mobilitas masyarakat.
Kebijakan ini yang mengakibatkan kegiatan ekonomi hampir lumpuh sehingga membuat pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UKM) tertekan.
"Pandemi sudah mulai bisa dikelola meski belum sama sekali selesai dan meninggalkan scarring effect (luka memar) sangat dalam," kata Sri Mulyani di acara serupa.
"Indonesia yang mayoritas didominasi perusahaan-perusahaan dan kegiatan sektor informal tentu merasakan imbasnya," sambung Menkeu.
Baca juga: Ancaman Resesi Dunia Tahun 2023, Ini Langkah untuk Mengantisipasinya
Beda halnya dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998 dan 2007-2008 di mana pada periode itu menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar.
Neraca keuangan mereka terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok sehingga menyebabkan masalah pada sisi liability atau pinjaman.
Namun demikian, Sri Mulyani mengatakan ada cara yang sama yang dilakukan emerintah untuk menyelesaikan persoalan seperti memberikan relaksasi kredit.
"Karena kita menganggap para peminjam dari lemabaga keuangan terutama bank pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," kata dia.
Pemerintah, lanjut Srimul, juga menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial ke masyarakat serta usaha kecil dan menengah.
Misalnya menggelontorkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH). Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako; bantuan terhadap UMKM hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp 5 juta sebulan.
Baca juga: Presiden Jokowi: Jangan Sampai Dana APBN dan APBD Dibelikan Produk Impor
"Kita memahami bahwa masyarakat yang hidupnya tergantung cashflow harian sangat terpukul dengan pandemi scarring effect-nya dalam dan luas," imbuh Sri Mulyani.
Indonesia masih lebih mending karena tidak melakukan lockdown seperti RRT (Cina) sebab dampaknya akan jauh lebih luas. (Tribun Network/Reynas Abdila)