TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - China kini dikabarkan mengalami problem ekonomi yang amat pelik ditandai dengan tren pertumbuhan ekonomi yang melambat, hingga angka pengangguran usia muda yang menyentuh rekor tertinggi.
Problem perekonomian China saat ini juga ditandai dengan fenomena pasar perumahan runtuh, dan perusahaan manufaktur harus berjuang agar tetap berproduksi.
Dikutip dari CNN, ekonomi terbesar kedua di dunia itu sedang bergulat dengan dampak kekeringan parah.
Sektor real estate yang luas menderita akibat dari penumpukan utang yang terlalu banyak. Situasinya semakin memburuk setelah Beijing menerapkan kebijakan nol-Covid yang kaku. Bahkan tidak ada tanda-tanda kebijakan tersebut bakal berubah tahun ini.
Secara nasional, setidaknya 74 kota telah mengalami penguncian sejak akhir Agustus. Menurut perhitungan CNN berdasarkan statistik pemerintah, kondisi itu mempengaruhi lebih dari 313 juta penduduk.
Goldman Sachs pekan lalu memperkirakan bahwa kota-kota yang terkena dampak penguncian menyumbang 35 persen dari produk domestik bruto (PDB) China.
Pembatasan terbaru menunjukkan sikap tanpa kompromi China untuk membasmi virus dengan langkah-langkah kontrol yang paling ketat, meskipun ada dampak besar dari kebijakan tersebut.
"Beijing tampaknya bersedia menanggung biaya ekonomi dan sosial yang berasal dari kebijakan nol-Covid karena alternatifnya - infeksi yang meluas bersama dengan rawat inap dan kematian yang sesuai - merupakan ancaman yang lebih besar bagi legitimasi pemerintah," kata Craig Singleton, rekan senior China di Foundation for Defense of Democracies, sebuah think tank yang berbasis di Washington DC.
Baca juga: Konflik AS-China Memperparah Isu Rasisme Anti-Asia di Amerika Serikat
Bagi pemimpin China Xi Jinping, mempertahankan legitimasi itu lebih penting dari sebelumnya.
Apalagi saat ini Xi tengah berusaha agar terpilih untuk masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya saat Partai Komunis menggelar kongres terpentingnya dalam satu dekade bulan depan.
“Pergeseran kebijakan besar sebelum kongres partai tampaknya tidak mungkin, meskipun kita dapat melihat pelunakan dalam kebijakan tertentu pada awal 2023 setelah masa depan politik Xi Jinping terjamin,” kata Singleton.
Baca juga: Diplomat AS Harap China dan Rusia Kerja Sama Tutup Jaringan Korut Usai Tembakkan Rudal Balistik
Mengutip BBC, China mungkin tidak sedang berjuang melawan inflasi yang tajam seperti AS dan Inggris. Akan tetapi, ekonomi China memiliki masalah lain. Ketegangan perdagangan antara China dan ekonomi utama seperti AS juga menghambat pertumbuhan.
Yuan berada di jalur pelemahan terburuk dalam beberapa dekade karena nilai tukarnya anjlok terhadap dolar AS.
Mata uang yang lemah menakuti investor, memicu ketidakpastian di pasar keuangan. Ini juga mempersulit bank sentral untuk memompa uang ke dalam perekonomian.
Baca juga: Nigeria Pertimbangkan Beli Pesawat C919 Buatan China Untuk Maskapai Baru