Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan inflasi tahun 2023 di kisaran 5,7 persen sampai 6,1 persen secara tahunan.
Faktor pendorong inflasi tersebut adalah efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2022, yang diperkirakan masih terasa sampai 2023 akhir.
"Kenaikan dari harga BBM atau inflasi yang bersumber dari sisi energi, akan mendorong kenaikan dari inflasi transportasi dan inflasi dari bahan pangan," ujarnya kepada Tribunnews.com, Jumat (14/10/2022).
Baca juga: Buntut Inflasi Amerika Serikat, IMF Desak Bank-bank Sentral Asia Perketat Kebijakan Moneter
Kemudian, faktor kedua yakni ada ancaman serius terkait dengan krisis pangan, di mana ketergantungan Indonesia terhadap beberapa komoditas impor ini cukup riskan.
"Dimulai dari gandum, gula, garam, bawang putih, daging sapi, dan itu diperparah juga dengan asumsi pelemahan kurs rupiah," kata Bhima.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang bisa mencapai level Rp 16.000 pada 2023 menyebabkan adanya imported inflation karena dorongan biaya impor yang lebih tinggi.
Selain itu, faktor berikutnya adalah karena adanya pemulihan dari mobilitas masyarakat pasca Covid-19, sehingga dari sisi permintaan masyarakat kelas menengah atas mulai mendorong inflasi inti.
Baca juga: Pimpinan JPMorgan: Inflasi Tinggi Picu Kenaikan Suku Bunga Amerika Serikat di Atas 4,5 Persen
"Membuat inflasi inti semakin meningkat, terutama pada Lebaran tahun 2023. Terakhir, faktor lainnya adalah pelemahan nilai tukar rupiah yang berlanjut masih menjadi pendorong dari inflasi," pungkas Bhima.