Laporan Wartawan Tribunnews, Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah pandemi Covid-19 mulai dapat mereda dan dunia menuju ke fase pemulihan ekonomi, kini dunia dihadapkan pada ancaman resesi global yang diproyeksikan terjadi pada tahun 2023, dan semakin menghantui banyak negara di berbagai belahan dunia.
Ancaman resesi ini dipicu oleh ketidakpastian global sebagai imbas dari konflik Rusia dan Ukraina, yang menyebabkan disrupsi rantai suplai komoditas energi dan pangan global.
Sayangnya, pemulihan ekonomi ini seakan harus terhambat dikarenakan lonjakan inflasi tinggi yang perlu diredam dengan pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga dari Bank Sentral negara-negara yang mengalami tekanan inflasi tinggi.
Meskipun banyak negara di dunia diperkirakan terancam resesi, namun IMF memperkirakan perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh baik pada 2023 dan memiliki risiko rendah untuk terjerumus dalam resesi.
Meski begitu, Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan ekonomi. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diprediksi 5,0 persen, melambat dibandingkan proyeksi di tahun 2022 yang sebesar 5,3 persen.
Chief Investments Officer PT Insight Investments Management (INSIGHT), Camar Remoa menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat kondisi perekonomian Indonesia masih lebih kuat dibandingkan negara-negara lain.
Baca juga: Indonesia dan Negara Kawasan ASEAN Dinyakini Tahan Terhadap Ancaman Resesi Global
Pertama, kinerja neraca dagang Indonesia hingga Agustus 2022 tercatat selalu positif, ditopang peningkatan ekspor komoditas batu bara, kelapa sawit, dan nikel yang solid.
Baca juga: Ekonomi Melejit 5,72 Persen, Pemerintah Optimistis Mampu Hindari Ancaman Resesi
"Bahkan total nilai surplus neraca dagang sepanjang 8 bulan di tahun 2022 sudah hampir menyamai pencapaian neraca dagang Indonesia sepanjang tahun 2021," kata Camar dalam keterangan tertulisnya dikutip Rabu (9/11/2022).
Kedua, kata Camar, kinerja neraca dagang Indonesia yang kuat pada tahun 2022 ini mampu menyokong nilai tukar rupiah, sehingga depresiasi rupiah saat ini tidak separah mata uang negara-negara lain.
Ketiga, pada sepanjang YTD (Year to Date) 2022 pergerakan yield SBN (Surat Berharga Negara) tidak setinggi negara lain, hal ini disebabkan oleh outflow terjadi pada porsi kepemilikan investor asing di SBN yang terus menurun sejak periode pandemi Covid-19.
Dengan porsi kepemilikan investor asing yang sudah mulai terbatas (sebesar 14,7 persen pada 23 September 2022), harapannya capital outflow pada pasar obligasi sudah mulai mereda.
Keempat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tumbuh positif per 26 September 2022 dan mampu membukukan net inflow dibandingkan 2021.
Hal ini sejalan dengan realisasi pertumbuhan laba bersih emiten IHSG sepanjang 2022 sebesar 24 persen secara tahunan (YoY) dan tahun depan diprediksi masih akan tumbuh 6 persen YoY (angka konsensus Bloomberg, September 2022).
Kelima, rasio net ekspor-impor Indonesia terhadap real GDP Indonesia saat ini memiliki nilai yang tidak signifikan, yaitu 5,66 persen.
Angka ini mencerminkan eksposur Indonesia terhadap aktivitas ekonomi dunia relatif terbatas, sehingga apabila dunia mengalami tekanan atau resesi global, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia akan relatif terbatas.
Kondisi ini berbeda jauh dengan negara yang memiliki rasio net ekspor impor terhadap Real GDP jauh lebih tinggi, misalnya Singapura yang bisa mencapai angka 29 persen.
Keenam, aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia yang tetap mendukung pertumbuhan. Nilai Consumer Confidence Index (CCI) dan Retail Sales Index (RSI) Indonesia naik signifikan sepanjang tahun 2022.
"Nilai indeks tersebut pada September 2022 masih di atas prepandemic level, yakni angka CCI di atas 110 dan angka RSI di atas 200, menunjukkan aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia yang kuat. Angka CCI di atas 110 tersebut juga didukung oleh optimisme tinggi masyarakat di sektor konsumsi, yang direpresentasikan oleh angka-angka Economic Expectation Index di atas 100 dan Current Economic Index di atas 100, serta Income Expectation 6 Month Index, Business Activities Expectation 6 Month Index, dan Job Availability Expectation 6 Month Index yang semuanya masih di atas 100," ujarnya.
Dengan outlook optimisme masyarakat pada aktivitas konsumsi yang tetap tinggi, maka ekspektasi angka konsumsi ke depan juga akan tetap tinggi. Sejalan dengan sektor konsumsi masih menjadi kontributor GDP Indonesia terbesar (tercatat 61.05 persen pada Q2/2022), maka pertumbuhan GDP Indonesia ke depan pun diproyeksikan tetap tinggi.
Camar juga menyampaikan bahwa sangat penting bagi para investor untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia di tengah adanya proyeksi resesi 2023.
“Berbagai kondisi, mulai dari kinerja neraca dagang Indonesia yang tetap positif, rupiah yang masih mampu bertahan, hingga aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia yang masih terbilang cukup baik, tentunya membuat para investor bisa sedikit lebih tenang di tengah adanya kabar proyeksi resesi pada 2023 mendatang,” katanya.
Meski begitu dengan adanya proyeksi perlambatan ekonomi Indonesia pada tahun depan, Direktur PT Insight Investments Management (INSIGHT) Ria Meristika Warganda menyarankan agar para investor tetap melakukan diversifikasi investasi dengan memilih instrumen investasi yang tepat.