TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritisi hasil-hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia (G20) di Nusa Dua Bali yang berakhir Rabu, 16 November 2022.
Bhima Yudhistira mengatakan, legitimasi dari Leaders Declaration menjadi lemah karena terkesan lebih pro negara negara barat.
KTT G20 Bali menghasilkanLeaders Declaration atau sebuah komunike di bawah kepemimpinan Indonesia dan diteken para kepala negara G20 pada hari Rabu (16/11) sekitar pukul 13.30 WITA.
Meski sudah mencapai komunike, perekonomian dunia ke depan tetap saja masih diliputi ketidakpastian. Begitupun anggota G20 dinilai belum bisa meredam konflik antara Rusia dan Ukraina yang tidak diketahui ujungnya.
Menurut Bhima, legitimasi dari Leaders Declaration menjadi lemah karena isinya malah terkesan lebih berpihak ke negara negara barat.
Dia juga sepakat, prospek berakhirnya perang antara Rusia dan Ukraina dari pertemuan tersebut minim, karena di saat yang bersamaan anggota G20 tidak bisa menjadi resolusi konflik di kedua negara tersebut.
“Kalau berharap hasil KTT sebagai upaya menurunkan risiko resesi sepertinya belum tercapai. Ujungnya kekuatan untuk lakukan koordinasi moneter maupun fiskal lebih efektif secara bilateral,” tutur Bhima dikutip Kontan.co.id.
Baca juga: WTO Peringatkan Risiko Resesi di Beberapa Negara Ekonomi Utama
Menurut dia, pasca berakhirnya pertemuan KTT G20, paling penting bagi Indonesia adalah terkait permasalahan krisis pangan.
Misalnya saja, menjaga hubungan dengan India, Ukraina dan Australia terkait kelancaran pasokan gandum.
“Jadi KTT G20 adalah berakhirnya multilateralisme dan meningkatnya kerangka bilateral,” kata dia.
Untuk diketahui, beberapa hal yang tertuang dalam deklarasi tersebut, diantaranya, pertama negara-negara membahas dampak perang terhadap kondisi perekonomian global.
Baca juga: Morgan Stanley: Amerika Serikat Bisa Hindari Resesi pada 2023, Eropa Kurang Beruntung
Kedua, terbentuknya dana pandemi (pandemic fund) yang telah terkumpul US$ 1,5 miliar.
Ketiga, adanya alokasi Special Drawing Rights (SDRs) ekuivalen US$ 81,6 miliar untuk membantu negara-negara terutama yang miskin dan rentan untuk menghadapi krisis. Pun komitmen mekanisme transisi energi (ETM) yang khusus Indonesia sudah memperoleh komitmen sebesar US$ 20 miliar.
Keempat, 30 persen dari daratan dunia dan 30% lautan dunia dilindungi di tahun 2030, serta melanjutkan komitmen mengurangi degradasi tanah sampai 50% hingga tahun 2040 secara sukarela.
Laporan Reporter: Siti Masitoh | Sumber: Kontan