Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menemukan adanya ketidakmerataan distribusi pupuk di wilayah Sumatera Barat (Sumbar).
Hal ini diketahui setelah Ombudsman melakukan kunjungan kerja terkait pelayanan publik di bidang pertanian dan pangan di Sumatera Barat (Sumbar).
Ketidakmerataan tersebut, kata Yeka Hendra Fatika, terjadi di berbagai wilayah di Sumatera Barat.
Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Pers Terkait Monitoring Pelayanan Publik Lingkup Pertanian dan Pangan di Provinsi Sumatera Barat di kanal Youtube Ombudsman RI pada Jumat (18/11/2022).
Baca juga: Presiden Jokowi Singgung Kelangkaan Pupuk di KTT G20, Erick Thohir Sebut Stok Pupuk Indonesia AmanĀ
"Terjadinya ketidakmerataan distribusi pupuk bersubsidi di berbagai wilayah di Sumatera Barat," kata dia.
Yeka menjelaskan persoalan tersebut di antaranya terjadi pada data yang dimiliki pengecer.
Menurut Yeka, data yang dimiliki oleh pengecer adalah data kebutuhan, bukan data alokasi.
Kios Tani, kata dia, tidak memiliki data siapa saja petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi dan jumlahnya berapa.
Begitu pula dari sisi petani, mereka juga tidak tahu akan mendapat berapa.
Mereka hanya mengetahui akan dapat pupuk bersubsidi.
Salah satu indikator petani merasa punya hak untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, menurutnya, adalah karena nama mereka sudah terdaftar di RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), Simluhtan, dan RDKK penerima pupuk bersubsidi.
"Masalahnya sederhana, pengecer tidak memiliki data bahwa siapa saja yang harus menerima pupuk bersubsidi," kata dia.
"Lantas kalau begitu, masa' tidak punya data sama sekali? Ya, pengecer memang punya data, tapi data yang ada di pengecer itu adalah data kebutuhan, bukan data alokasi," sambung dia.
Baca juga: Ombudsman Desak Pemerintah Tetapkan Kasus Gagal Ginjal Akut Sebagai Kejadian Luar Biasa
Karena datanya tidak ada, akhirnya berlaku asas siapa cepat dia dapat.
Begitu sudah habis, petani yang tadinya ingin menebus menjadi tidak kebagian.
"Ini persoalan mendasar, dan ini sudah terjadi bertahun-tahun," kata dia.
"Walaupun tadinya menggunakan kelompok, lalu menggunakan kartu tani, tapi inilah yang terjadi. Dan inilah yang harus kita bereskan," sambung dia.
Hal tersebut, menurutnya juga terkait dengan persoalan selanjutnya yakni mahalnya biaya transportasi.
Beberapa temuan di Mentawai misalnya, menjadi persoalan karena biaya transportasi yang mahal.
"Oleh karena itu mestinya penyaluran untuk remote area seperti di Mentawai, pemerintah daerah juga harusnya memiliki concern, bukan hanya pemerintah pusat saja. Tapi pemerintah daerah harus memiliki concern karena ada persoalan dalam mendistribusikan," kata dia.