Zabadi memastikan bahwa OPK akan didesain tidak sepenuhnya diisi orang-orang KemenKopUKM saja, melainkan ada perwakilan dari gerakan koperasi dan stakeholder lainnya.
"Kami ada benchmark di beberapa negara seperti AS dan Jepang, dimana pengawasan koperasi dilakukan dengan cara seperti ini. Tidak di bawah otoritas semacam OJK, dan tidak di bawah bank sentral," ucap Zabadi.
Menurutnya Hal itu juga sudah ditegaskan dalam Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dan juga RUU Perkoperasian.
"Yang diatur di RUU PPSK itu, koperasi yang eksisting berada di sektor keuangan. Artinya, RUU PPSK itu hanya mengatur koperasi yang bersifat open loop," kata Zabadi.
Jadi, lanjut Zabadi, hanya koperasi yang bersifat open loop pengawasan berada di bawah OJK. Contoh, BPR yang dimiliki koperasi, LKM yang berbadan hukum koperasi, dan asuransi berbadan hukum koperasi. Itu termasuk bila nanti ada koperasi kripto, atau koperasi yang bergerak di sektor pinjaman online.
Sementara koperasi yang sifatnya close loop adalah yang murni KSP dimana koperasi ini dikelola hanya yang dari, oleh, dan untuk anggota koperasi, serta tidak boleh menyelenggarakan kegiatan di luar usaha simpan pinjam.
Untuk itu terkait dengan pengawasan ini nantinya akan diatur rasio modalnya, rasio penyaluran, rasio Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), dan sebagainya.
"Permodalan KSP tidak boleh dominan dari luar. Harus dominan dari anggota. Begitu dapat modal dari luar secara dominan, masuk kategori open loop," kata Zabadi. (Adrianus Octaviano/Herlina Kartika Dewi)