Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Aktivitas pabrik di China menyusut dengan kecepatan yang lebih tajam pada Desember akibat gelombang COVID-19.
Lonjakan kasus COVID-19 mengganggu produksi dan membebani permintaan setelah China menghapus sebagian besar kebijakan nol-COVID, menurut hasil survei di sektor swasta yang terbit pada Selasa (3/1/2023).
Melansir dari Reuters, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Caixin/Markit turun menjadi 49,0 di Desember dari 49,4 di bulan sebelumnya.
Baca juga: Prancis Wajibkan Turis Asal China Jalani Tes Covid-19
Angka tersebut menjadi yang terendah sejak September, namun mengalahkan perkiraan analis dalam jajak pendapat Reuters sebesar 48,8.
Survei PMI resmi China yang lebih besar pada Sabtu (31/12/2022) menunjukkan penurunan yang jauh lebih tajam, dengan indeks aktivitas manufaktur jatuh ke level terendah dalam tiga tahun terakhir. Survei Caixin diyakini berfokus pada perusahaan yang lebih kecil dan berorientasi pada ekspor.
Angka-angka tersebut memberikan gambaran mengenai tantangan yang dihadapi oleh pabrik-pabrik di China yang sekarang harus melawan lonjakan kasus COVID-19 setelah perubahan kebijakan nol-COVID yang tiba-tiba di negara itu pada awal Desember.
"Pasokan menyusut, total permintaan tetap lemah, permintaan luar negeri menyusut, pekerjaan memburuk, logistik lamban, produsen menghadapi tekanan yang meningkat pada profitabilitas mereka, dan jumlah pembelian serta inventaris tetap rendah," kata ekonom senior di Caixin Insight, Wang Zhe.
Melemahnya permintaan eksternal di tengah perlambatan pertumbuhan global terus menyeret pesanan untuk produsen berorientasi ekspor, dengan sub-indeks Caixin dari pesanan ekspor baru menyusut dengan laju tercepat sejak September.
Hambatan logistik juga memperpanjang waktu pengiriman pemasok selama enam bulan berturut-turut, sementara lapangan kerja di sektor manufaktur mengalami kontraksi selama sembilan bulan berturut-turut akibat tingkat produksi yang rendah dan kesulitan mencari pekerja di tengah wabah virus corona.
Baca juga: Keputusan Kontroversial China Soal Covid-19 Disebut Bertolak Belakang dengan Fakta
Beberapa analis mengantisipasi kekurangan tenaga kerja dan gangguan rantai pasokan yang meningkat, yang dikombinasikan dengan permintaan pelanggan yang melemah, sehingga dapat mendorong penurunan produksi lebih lanjut di bulan-bulan pada musim dingin mendatang.
"Dengan COVID-nol sekarang di kaca spion, pasar mengharapkan pemulihan gangbuster 2023," kata kepala ekonom di China Beige Book, Derek Scissors.
"Itu akan benar, pada akhirnya. Namun, dengan gelombang pasang COVID yang sedang berlangsung, investasi merosot ke level terendah 10 kuartal, dan pesanan baru terus terpukul, pemulihan Q1 yang berarti semakin tidak realistis," tambah Scissors.
Para pemimpin China telah berjanji untuk meningkatkan penyesuaian kebijakan guna meredam dampak lonjakan infeksi COVID-19 pada bisnis dan konsumen, saat ekonomi global yang melemah merugikan ekspor.
Ekonomi terbesar kedua di dunia itu tumbuh 3 persen dalam sembilan bulan pertama di 2022 dan diperkirakan akan tetap berada di kisaran itu selama setahun penuh ini.