Lookman juga menjelaskan saat larangan ODOL diterapkan persentase kenaikan keuntungan tidak ada hanya memang jumlah frekuensi pengiriman akan bertambah.
Pengemudi juga akan diuntungkan dengan bertambahnya ritase. Ditambah lagi masyarakat juga diuntungkan dengan tingkat kerusakan jalan yang rendah, kecelakaan berkurang, keselamatan meningkat serta kemacetan menurun.
"Pengemudi juga tidak menikmati kenaikan harga BBM kemarin karena pelanggan hanya mampu membayar kenaikan harga BBM saja. Tapi itu akan diminta kembali penyesuaian oleh pelanggan karena muatan yang lebih ringan. Jadi saya rasa tidak akan menambah kenaikan keuntungan," ujar Lookman.
Kendati demikian lanjut Lookman pihaknya mendukung larangan ODOL tersebut. Karena kata dia armada truk yang ada bisa awet dan tidak mudah rusak serta keselamatan bisa lebih terjamin.
"Sopir juga mengemudikan kendaraan dengan lebih aman," ujarnya.
Baca juga: Mulai 2 Januari, Truk ODOL Seberat 50 Ton Lebih Dilarang Masuk Pelabuhan Merak dan Bakauheni
Saat ditanya apakah dengan adanya larangan ODOL armada truk akan ditambah, Lookman mengatakan justru saat ini ketersediaan armada truk oversupply imbas pandemi covid-19.
Diketahui menurut data BPS 2020 jumlah truk di Indonesia saat ini diatas 5 juta unit. "Kalau ODOL diberlakukan seharusnya para pengusaha truk ini siap," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Edy Suyanto memperkirakan kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL) diterapkan awal tahun 2023 ini akan menyebabkan ongkos angkut barang naik sebesar 240 persen. Kenaikan ongkos angkut sebesar ini otomatis akan mempengaruhi juga harga jual keramik ke konsumen yang diperkirakan minimal sebesar 20% sampai 25%.
“Kajian internal di ASAKI berkaitan dampak penerapan Zero ODOL yang nanti akan direncanakan di tahun depan. Kami sudah menghitung dengan jumlah muat keramik yang harus turun 70 persen akibat ODOL ini akan mengakibatkan ongkos angkut naik sekitar 240 persen,” ujarnya.
Menurutnya, yang nantinya ikut terbebani akibat kenaikan ongkos angkut itu adalah para konsumen dan dari hitung-hitungan yang sudah dilakukan ASAKI, kenaikan ongkos kirim sebesar 240 persen akan memicu naiknya harga jual ke konsumen minimal sebesar 20% hingga 25%.
“Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kemampuan daya beli masyarakat terhadap rencana kenaikan harga jual produk keramik tersebut? Apalagi di tengah ekonomi yang lagi sulit saat ini akibat pandemi,” cetusnya.
Tidak hanya itu, kata Edy, kenaikan harga jual keramik yang jelas juga akan berpengaruh terhadap harga produk properti yang pada ujungnya akan mempengaruhi inflasi dan penjualan di industri. Sebagai informasi, saat pemerintah menaikkan PPN 11% di bulan April dan harga BBM di September 2022 ini, industri keramik yang hanya menaikkan harga sebesar 3-5 persen saja, itu sudah menurunkan daya beli masyarakat.
“Kenapa? Karena keramik bukan barang primer, ini adalah barang tersier. Jadi, pada November lalu harga jual produk keramik kami turunkan lebih dari 5% lebih besar daripada kenaikan sebelumnya, karena hanya ingin mengimbangi daya beli masyarakat. Apalagi utilisasi kapasitas nasional keramik ini sudah mengalami penurunan pada awal tahun 2022 lalu,” tuturnya.
“Saat ini kami sudah sangat positif dan bersemangat, di mana utilisasi bisa meningkat dari 75 persen ke 85 persen di Q1 tahun 2002. Tapi saat ini, kapasitas kami kembali turun menjadi 74 persen. Jadi, bagaimana posisi daya saing industri keramik kita nanti kalau masih ditambah dengan penerapan Zero ODOL di tahun 2023? Ini menjadi satu kekhawatiran kami,” tambah Edy.
Baca juga: Kemenhub: Target Zero ODOL 2023 Tetap Berjalan! KPBB Usulkan Bisa Dimulai dari Transportasi AMDK