TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof Didik J Rachbini menyampaikan utang pemerintah Presiden Joko Widodo amat terlampau tinggi.
Menurutnya, utang yang ditaksir mencapai ribuan triliun ini akan menjadi warisan kepada pemimpin negara baru di 2024.
"Posisi utang tahun 2014 itu Rp 2.600-an (triliun), ini SBY dihajar habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya, sekarang utang itu sampai November 2022 itu sudah Rp 7.500-an triliun," kata Didik dalam paparan Catatan Awal Tahun Indef 2023 secara virtual, Kamis (5/1/2023).
Baca juga: INDEF: Indonesia Butuh Perbanyak Investasi Bidang Riset
Prof Didik mengatakan posisi utang di tahun 2023 memungkinkan untuk mencapai belasan ribu triliun bila ditotal dengan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dia juga berbicara soal tahun politik yang membutuhkan biaya ekstra untuk pesta demokrasi.
"Itu (utang) Rp 7.500 triliun kalau ditambah BUMN Rp 2.000-3.000 triliun, jadi mungkin belasan ribu triliun utang yang diwariskan pada pemimpin yang akan datang," tutur Didik.
Anggota Komisi VI DPR RI menyatakan dirinya sudah lama berteriak mengenai utang pemerintah yang terus membengkak dan sudah sangat mengkhawatirkan.
Baca juga: Erick Thohir: Tenang Saja Utang Produktif Itu Nggak Ada Masalah
"Saya banyak teriak soal ini banyak tapi tidak diperhatikan," sebut Didik.
Rektor Universitas Paramadina ini menyangsikan pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih baik jika melihat postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Didik menilai utang pemerintah yang fantastis tersebut nantinya berimplikasi kepada APBN karena habis untuk bayar utang.
"Kondisi ini terjadi akibat buruknya sistem politik di Indonesia sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk," ungkapnya.
Dia mencontohkan, langkah pemerintah yang secara otoriter mengeluarkan Perppu untuk memperlebar defisit anggaran di masa pandemi Covid-19.
Menurut Didik, kebijakan fiskal semena-mena ini menjadikan utang pemerintah makin besar dan sulit dikendalikan.
"Awal Covid-19 menjadi sumber justifikasi krisis otoriter dilakukan namun DPR nggak bisa apa-apa dengan Perpu. DPR nggak diberikan kekuasaan apa-apa," ucap Didik.
Dia menambahkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran pada dunia politik, terlalu banyak kongkalikong sehingga membuat fungsi check and balance di DPR menjadi sangat lemah.
Baca juga: Rizal Ramli: Pemerintah Sudah Tak Sanggup Bayar Bunga Utang Negara: Gali Lubang, Tutup Jurang
"Padahal ekonomi dan politik ini tidak bisa dipisahkan, faktanya defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat mengakibatkan kondisi politik yang merusak demokrasi," tegas Didik.
Ketimpangan Ekonomi
Ekonom Indef Didin S Damanhuri menyoroti adanya indikasi oligarki yang telah mengendalikan politik Indonesia.
Baca juga: AHY Kritisi Pembangunan IKN Proyek Ambisius Pemerintah, Bikin Utang Negara Bengkak
Bukti mendasar, jelasnya, yakni dengan begitu cepat sejumlah undang-undang (UU) disahkan sebut saja UU Minerba, UU KPK, UU Cipta Kerja, UU MK, UU IKN, UU HPP, hingga Perppu Cipta Kerja.
"Lahirnya berbagai regulasi ini bukti bekerjanya fenomena oligarki," ucap Didin.
Didin menjelaskan efek dari oligarki membuat terjadinya ketimpangan ekonomi antara masyarakat lapisan atas dan lapisan bawah.
Berdasarkan data dari Credit Suisse, penguasaan aset oleh oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk Indonesia sangat timpan.
Diukur dari index oligarki atau material power index ala Jaffrey Winter, hasilnya ketimpangan di Indonesia pada 2014 adalah yang kedua paling terparah setelah China dengan indeks oligarki 678.000 kali.
Didin menyebut data yang diperoleh dari perbankan bahwa saldo pemilik rekening di atas Rp 5 miliar terus naik, sementara masyarakat dengan saldo di bawah 100 juta terus mengalami penurunan.
Baca juga: Legislator PAN : Pembayaran Utang Negara Lampaui Rekomendasi IMF, Potensi Usik Anggaran Pendidikan
"Ini mengkonfirmasi adanya ketimpangan sebagai dampak adanya oligarki ini," tuturnya.
Menurut Didin, faktor utama penyebab suburnya oligarki di Indonesia adalah dibiarkannya para oligarki ekonomi menjadi investor politik. (Tribun Network/Reynas Abdila)