TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelangkaan pasokan minyak goreng kemasan di masyarakat menjadi peristiwa di sektor ekonomi yang sangat menyita perhatian masyarakat di sepanjang 2022 kemarin dan imbasnya masih berlanjut sampai sekarang di 2023.
Kalaupun ada stok, harganya melambung sangat tinggi. Sampai-sampai Pemerintah kemudian mengambil berbagai langkah penanganan, termasuk dengan menggulirkan kebijakan minyak kemasan sederhana dengan harga terjangkau, MinyaKita, yang diinisiasi oleh Kementerian Perdagangan.
Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison berpendapat, sebenarnya kelangkaan minyak goreng kemasan yang terjadi di 2022 lalu tidak berkaitan dengan kartel.
Namun lebih disebabkan kebijakan pemerintah mengintervensi pasar dengan menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang menurut analisisnya masih di bawah harga keekonomian industri.
“Ketika pemerintah menetapkan HET yang jauh di bawah harga produksi, berarti pemerintah memaksa produsen untuk menjual rugi. Siapa yang mau merugi? Jadi, pilihan yang masuk akal adalah menghentikan produksi,” ujarnya saat memberi keterangan sebagai ahli dalam persidangan dugaan kartel minyak goreng di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Senin, 6 Februari 2023.
Vid menjelaskan, pemerintah pernah menjanjikan penggantian selisih harga (refraksi) kepada pelaku usaha. Namun, bagi pelaku usaha, hal itu tidak serta merta memberikan jaminan kepastian.
“Perlu dilihat berapa besar biaya selisih harga yang akan dibayarkan pemerintah," ujarnya.
"Seandainya biaya penggantian yang dibayarkan bisa menutupi ongkos produksi, tetap perlu dilihat dalam jangka berapa lama akan dibayarkan. Apakah satu bulan, enam bulan atau kapan? Ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” ungkapnya.
Gunakan Strategi BLT
Dia menambahkan, persoalan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng murni disebabkan kebijakan pemerintah mengintervensi pasar dengan mengeluarkan peraturan yang berubah-ubah yang justru tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian.
Dia menyarankan kepada Pemerintah, daripada mengatur harga jual minyak goreng, pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan langsung tunai (BLT).
Baca juga: Harga Minyak Kemasan Sederhana di Pasar Tembus HET, Kemendag dan Kemenperin Akan Dipanggil KPPU
“Saya lebih setuju kalau kebijakan yang diambil adalah cash transfer melalui pemberian BLT ke masyarakat, bukan dengan menetapkan HET," ujarnya.
Dia beralasan, dengan cara tersebut, produsen minyak goreng tetap berproduksi tanpa merugi sehingga pasokan terjaga. Di sisi lain, masyarakat tetap mampu membeli walaupun ada kenaikan harga,” jelasnya.
Vid berpendapat, dugaan adanya kesepakatan pelaku usaha untuk menaikkan harga minyak goreng sulit dibuktikan. Adanya keseragaman harga tidak serta merta menjadi bukti adanya kesepakatan di antara produsen dalam menetapkan harga karena ada faktor-faktor umum yang menjadi pembentuk harga.
Baca juga: KPPU Gelar Sidang Perkara Minyak Goreng Terhadap 27 Perusahaan, Ini Daftarnya
Misalnya, nilai tukar dan bahan baku yang sama yang digunakan oleh para produsen. Apalagi, dugaan kesepakatan ini melibatkan banyak sekali pihak.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung seperti dikutip Kontan mengatakan dugaan KPPU tentang adanya kartel yang dilakukan 27 perusahaan produsen minyak goreng, sulit dibuktikan.
Ia mengatakan sulit terjadi kartel di industri minyak goreng karena produsennya terlalu banyak. "Dalam hukum ekonomi, kalau pemain atau produsennya terlalu banyak akan sulit terjadi kartel, berbeda jika pemainnya sedikit,” kata Tungkot.
Menurut dia, produsen minyak goreng dengan skala besar mencapai lebih dari 70 perusahaan. sementara yang menengah dan kecil lebih banyak lagi. Hampir setiap provinsi di Indonesia ada produsen.
Dia mengatakan, konsumen minyak goreng juga sangat besar, mulai dari industri makanan, restoran cepat saji, UMKM, dan rumah tangga. Dari segi kualitas juga banyak sekali ragamnya, mulai minyak goreng premium, kemasan sederhana hingga minyak goreng curah dengan peruntukan yang berbeda-beda.
PASPI mencatat, industri hulu minyak goreng melibatkan lebih dari 3.000 perusahaan produsen CPO yang tersebar di seluruh Indonesia. Produk atau mereknya pun banyak sekali, macam-macam.
KPPU Soroti 27 Perusahaan Minyak Goreng
Dalam mengusut dugaan kartel ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Rincian Ke- 27 perusahaan minyak goreng dalam perkara No. 15/ KPPU - I / 2022 adalah:
Adapun 27 perusahaan terlapor sebagai berikut:
1. PT Asianagro Agungjaya sebagai Terlapor I
2. PT Batara Elok Semesta Terpadu sebagai Terlapor II
3. PT Berlian Ekasakti Tangguh sebagai Terlapor III
4. PT Bina Karya Prima sebagai Terlapor IV
5. PT Incasi Raya sebagai Terlapor V
6. PT Selago Makmur Plantation sebagai Terlapor VI
7. PT Agro Makmur Raya sebagai Terlapor VII
8. PT Indokarya Internusa sebagai Terlapor VIII
9. PT Intibenua Perkasatama sebagai Terlapor IX
10. PT Megasurya Mas sebagai Terlapor X
11. PT Mikie Oleo Nabati Industri sebagai Terlapor XI
12. PT Musim Mas sebagai Terlapor XII
13. PT Sukajadi Sawit Mekar sebagai Terlapor XIII
14. PT Pacific Medan Industri sebagai Terlapor XIV
15. PT Permata Hijau Palm Oleo sebagai Terlapor XV
16. PT Permata Hijau Sawit sebagai Terlapor XVI
17. PT Primus Sanus Cooking Oil Industrial sebagai Terlapor XVII
18. PT Salim Ivomas Pratama, Tbk sebagai Terlapor XVIII
19. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart Tbk) sebagai Terlapor XIX
20. PT Budi Nabati Perkasa sebagai Terlapor XX
21. PT Tunas Baru Lampung, Tbk sebagai Terlapor XXI
22. PT Multi Nabati Sulawesi sebagai Terlapor XXII
23. PT Multimas Nabati Asahan sebagai Terlapor XXIII
24. PT Sinar Alam Permai sebagai Terlapor XXIV
25. PT Wilmar Cahaya Indonesia, Tbk sebagai Terlapor XXV
26. PT Wilmar Nabati Indonesia sebagai Terlapor XXVI
27. PT Karyaindah Alam Sejahtera sebagai Terlapor XXVII
Para Terlapor diduga melanggar atas dua hal, yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Perbuatan para terlapor diduga telah menyebabkan kelangkaan minyak goreng kemasan di pasar domestik.
Baca juga: Menteri BUMN Ganti Direksi dan Komisaris ID Food, Rosyid Arsyad Minta Stabilkan Harga Minyak Goreng
Mengutip Kontan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggelar sidang perdana terkait dugaan kartel minyak goreng yang dilakukan oleh 27 perusahaan minyak goreng pada Kamis (20/10).
Investigator Penuntutan Siswanto menyampaikan, para terlapor diduga melakukan pelanggaran ketentuan pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia (Perkara Minyak Goreng).
"Dugaan pelanggaran pasal 5, para terlapor secara bersama - sama menaikkan harga minyak goreng kemasan pada periode bulan Oktober 2021 - Desember 2021 dan periode bulan Maret 2022 - Mei 2022, sebagaimana diuraikan lengkap dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) yang disampaikan," jelas Siswanto dalam sidang di Kantor KPPU.
Baca juga: Faisal Basri Kritik Kelangkaan Minyak Goreng: Semrawut Sekali
Selanjutnya dugaan pelanggaran pasal 19 huruf c, para terlapor diduga melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan minyak goreng kemasan yang terjadi secara serentak dalam waktu yang sama pada periode bulan januari 2022 hingga mei 2022, sebagaimana diuraikan secara lengkap dalam LDP yang disampaikan.
Terkait pengusutan dugaan kartel ini, Direktur Investigasi KPPU Gopprera Penggabean memaparkan, pada minggu pertama penyelidikan, dimulai 6-8 April 2022, KPPU telah memanggil 9 pihak.
Tujuh pihak tidak memenuhi panggilan penyelidikan, termasuk empat produsen yakni PT Sinar Alam Permai, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Asianagro Agungjaya.
"Atas ketidakhadiran tersebut, Tim Investigasi KPPU akan mengagendakan pemanggilan kembali untuk melihat apakah penundaan kehadiran tersebut wajar atau terdapat indikasi upaya penghambatan proses penyelidikan," kata dia melalui keterangan tertulis, Selasa (12/4/2022).
KPPU kemudian menggali dan mencari bukti kuat dugaan kartel minyak goreng dengan memanggil sejumlah asosiasi, produsen, distributor, pengemasan, dan pedagang.
Pada proses penyelidikan selanjutnya, kata Gopprera, Tim Investigasi akan melakukan pemanggilan terhadap 10 pihak yang terdiri atas perusahaan pengemasan, produsen, dan distributor untuk menggali alat bukti.
"KPPU meminta para pihak dalam proses penyelidikan untuk kooperatif dalam memenuhi panggilan guna memperlancar proses penegakan hukum, sehingga dapat diselesaikan dan tidak memerlukan perpanjangan masa penyelidikan," ucapnya.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan/pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan.
Jika melanggar, kata dia, perbuatan tersebut dapat diserahkan kepada penyidik untuk masuk ke tahap penyidikan.
KPPU telah memasuki masa penyelidikan yang dimulai 30 Maret 2022.
Selama proses penyelidikan, KPPU langsung meminta keterangan para terlapor, saksi, dan ahli serta pemintaan surat dan atau dokumen yang dibutuhkan.
Melalui proses penyelidikan, KPPU menduga telah terjadi berbagai jenis pelanggaran dalam kasus minyak goreng, yakni dugaan penetapan harga dengan pergerakan harga minyak goreng yang sama, dugaan kartel pengaturan produksi dan pemasaran minyak goreng, dan dugaan pembatasan pasar minyak goreng.
Berawal dari Laporan MAKI ke KPPU
Dugaan praktik kartel minyak goreng oleh sejumlah perusahaan dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) kepada KPPU pada 1 April lalu.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Deswin Nur mengatakan, KPPU sudah memulai proses penyelidikan tersebut sejak 30 Maret 2022 silam.
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI saat mendatangi KPPU pada 1 April lalu menyampaikan dugaan monopoli/kartel/permainan-permainan terkait dengan perdagangan minyak goreng di domestik yang menyebabkan ketersediaan langka dan harga yang mahal.
MAKI kemudian menyerahkan data tambahan ke KPPU ihwal dugaan kartel tersebut.
"Di sini saya menyerahkan dokumen-dokumen tambahan untuk mendalami berkaitan dengan pajaknya, volume ekspor dan nilai uangnya," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman di Kantor KPPU, Jumat (20/5).
Dari 9 perusahaan yang dilaporkan, Boyamin baru memberikan tambahan data dari 4 perusahaan. Dia mengatakan, dari 4 perusahaan tersebut, 2 perusahaan diantaranya sedang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi dalam pemberian izin ekspor CPO. Kemudian satu perusahaan berdiri sendiri dan diduga terafiliasi sampai ke luar negeri.
Satu perusahaan lagi disebutnya merupakan perusahaan besar yang memiliki kebun sawit, pabrik CPO, pabrik minyak goreng, distribusi dan bahkan hingga memiliki ritel sendiri.
Boyamin juga mendorong KPPU untuk menjalin kerjasama dengan Kejaksaan Agung, KPK, PPATK bahkan Direktorat Pajak untuk menggali bukti-bukti adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat.
"KPPU saya dorong untuk kerjasama dengan Kejaksaan Agung karena Kejaksaan dengan undang-undang baru berhak melakukan penyadapan. Juga dengan PPATK ataupun KPK dan juga bekerja sama dengan pajak karena perusahaan-perusahaan itu otomatis bayar pajak," kata Boyamin.
Pada persidangan sebelumnya, Mantan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan, menyampaikan, kelangkaan minyak goreng disebabkan kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa dalam mengatur pasar tanpa ada badan atau lembaga khusus yang menanganinya, seperti Bulog.
Terbukti, begitu Permendag 11/2022 diterbitkan pada 16 Maret 2022 untuk mencabut peraturan HET (Permendag 6/2022), keesokan harinya minyak goreng langsung tersedia di pasar.
Selain itu, kelangkaan minyak goreng juga disebabkan oleh gangguan distribusi yang kendalinya tidak berada di pihak produsen.
Menurut Oke, berdasarkan data dashboard Kemendag yang berisi self declaration pelaku usaha mengenai realisasi DMO, selama kurun Januari-Maret 2022 produsen dan ekportir sudah menyalurkan minyak goreng ke distributor utama (D1).
Namun, minyak goreng itu ternyata tidak ada di pasar sehingga hal ini menunjukkan ada masalah di level distribusi di bawahnya.
Laporan reporter: Ratih Waseso/Lailatul Anisah [Kontan] dan Noverius Laoli/Rizki Sandi Saputra/Nitis Hawaroh [Tribunnews].