“Perumpamaannya, di tempat olahraga orang pasti akan ramai-ramai berjualan air minum dan di pemakaman orang banyak berjualan kembang untuk ziarah. Itu adalah pilihan bersama yang rasional, bukan berarti mereka bersepakat,” jelas Rio.
Terkait dengan kelangkaan minyak goreng yang terjadi tahun lalu, Rio menyebut kebijakan pemerintah yang menjadi pemicunya.
Peraturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) yanag diikuti dengan domestic market obligation (DMO)/domestic price obligation (DPO) justru tidak tepat dan menimbulkann kelangkaan. Apalagi, kebijakan yang dikeluarkan berubah-ubah dalam waktu yang singkat.
“Saya mencatat dalam dua bulan ada empat kebijakan yang diambil. Jadi, jika dirata-rata tiap dua minggu ada peraturan baru. Pertama, soal subsidi menggunakan dana BPDPKS."
Kemudian, soal penggantian selisih harga ke produsen atau rafaksi yang proses reimbursement-nya sampai sekarang belum jelas dan menimbulkan dispute.
"Selanjutnya, muncul kebijakan HET untuk tiga jenis minyak goreng. Belakangan, kebijakan ini dikoreksi dan hanya minyak curah yang diatur harganya,” beber Rio.
Dalam konsep “economic analysis of law”, sambung Rio, kebijakan pemerintah sangat penting karena menjadi basis untuk membuat pilihan-pilihan bisnis yang rasional dan legal bagi pelaku usaha.
Baca juga: Berdayakan UMKM, Asosiasi Petani Gagas Pengembangan Limbah Sawit Jadi Bernilai Ekonomis
“Kalau tiap minggu ganti kebijakan, kapan melakukan analisanya,” kata dia.
Rio juga menjelaskan, kebijakan HET tidak tepat karena tidak menggunakan harga acuan CPO di pasar domestik maupun internasional. HET yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah harga acuan.
Sementara, pasokan bahan baku untuk minyak goreng semakin sulit selain karena produksi yang turun akibat pandemi, juga karena meningkatnya pasokan CPO untuk biodiesel.
Menurutnya, kebijakan HET telah memberikan dampak yang berbeda kepada pelaku usaha sehingga mereka juga harus mengambil pilihan-pilihan rasional yang berbeda.
"Bagi pelaku usaha downstream dan tidak punya kebun, atau usaha upstream-downstream tapi pasokan kebunnya tidak mencukupi, mereka terpaksa membeli CPO dari pihak ketiga dengan harga tinggi," bebernya.
Namun, bagi pelaku usaha upstream atau perusahaan terintegrasi yang pasokan kebunnya berlebih, dia akan memilih ekspor atau menjual CPO-nya untuk kebutuhan biodiesel karena harganya lebih tinggi dibandingkan harga jual CPO untuk minyak goreng.
"Jadi, ketika dihadapkan kebijakan minyak goreng dan biodiesel, secara rasional pelaku usaha akan lebih memilih memasok CPO untuk biodiesel,” tandas Rio.