TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor menyatakan tidak benar apabila dikatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dapat berlaku seumur hidup.
Wamenaker menegaskan, dalam Perppu Cipta Kerja, PKWT ada jangka waktunya. Perppu Cipta Kerja memang tidak mengatur periode waktu PKWT, tapi mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam PP 35/2021.
"Ada dua jenis PKWT, pertama PKWT berdasarkan jangka waktu yang diatur oleh perundang-undangan maksimal 5 tahun. Dan kedua PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, yang jangka waktunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan disebut juga tentang ruang lingkup selesainya pekerjaan," tutur Afriansyah dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Perppu Cipta Kerja dan Daya Tahan Perekonomian" secara daring, Jumat (3/3/2023).
Baca juga: Demo Tolak Perppu Cipta Kerja di DPR, Massa Aksi Sempat Mengadang Mobil Pelat Merah
Afriansyah menyatakan, Perppu Cipta Kerja diterbitkan pemerintah karena adanya kebutuhan mendesak untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan. Meletusnya perang Ukraina dan krisis ekonomi global, menurut Afriansyah menjadi dasar pertimbangan pemerintah dalam menerbitkan Perppu tersebut.
"Dan yang penting untuk dijelaskan juga, bahwa Perppu ini lahir untuk menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan perbaikan melalui pergantian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata Afriansyah.
Wamenaker melanjutkan, Indonesia masih membutuhkan lapangan kerja yang memadai. Dengan dampak ekonomi global seperti ini, Afriansyah menyatakan Indonesia masih bisa bertahan.
Namun, ada beberapa perusahaan padat karya yang terdampak krisis ekonomi global. Dan hal itu berujung pada pengurangan jam kerja, dan bahkan pengurangan tenaga kerja.
"Kondisi-kondisi itu yang membuat kita menerbitkan Perppu Cipta Kerja ini. Sebelum terjadi 'kebakaran', lebih baik kita mencegahnya sehingga tak terjadi kebakaran besar," ucap Afriansyah.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof Nindyo Pramono menyatakan Dunia sedang menghadapi "triple disruption" akibat tiga hal, yakni transformasi teknologi digital, pandemi Covid 19, serta perubahan iklim.
Dengan begitu, aktivitas sosial pun mengalami disrupsi, termasuk kegiatan perbankan, pasar modal,pertambangan serta ketenagakerjaan yang menjadi lebih multi dimensi dan multi disiplin.
Nindyo melanjutkan, untuk menyesaikan berbagai tumpang tindih peraturan sebanyak 78 Undang-Undang dengan model konvensional membutuhkan waktu sekitar 17 tahun. Sehingga diperlukan terobosan dengan metode omnibus law, yang sayangnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
"Hal-hal itulah yang melatarbelakangi diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian diperbaiki dengan Perppu Cipta Kerja, sebagai akibat dari putusan MK inkonstitusional bersyarat tersebut," tutur Nindyo.
Pengamat Komunikasi Politik dan dosen tetap Pascasarjana Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyatakan banyak manfaat yang bisa dipanen dari UU Cipta Kerja. Para pelaku ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah sangat diuntungkan.
"Kemudahan perizinan, misalnya, melahirkan harapan munculnya pelaku-pelaku bisnis baru dalam lingkup UMKM," katanya.
Ke depan, kegiatan usaha mikro bisa meningkat menjadi bisnis kecil. Kemudian bertumbuh menjadi bidang usaha menengah yang pada gilirannya melahirkan usaha besar.
"Dengan rentang pertumbuhan bidang usaha tersebut, dipastikan dapat melandaikan piramida struktur kesejahteraan ekonomi ditengah masyarakat," ucap Emrus.
Sementara itu, Hery Sucipto selaku Direktur Eksekutif Moya Institute menyatakan ketidakpastian perekonomian global masih dan akan terus terjadi hingga waktu yang belum dapat dipastikan. Dan kondisi itu membayang-bayangi perekonomian nasional.
Baca juga: Buruh Ancam Pembangkangan Sipil Bila Perppu Ciptaker Disetujui DPR RI
Melemahnya permintaan global akibat kondisi tersebut dapat berdampak cukup besar pada kinerja perekonomian nasional. Sehingga diperlukan antisipasi oleh pemerintah guna menciptakan kepastian hukum bagi investor, meningkatkan permintaan domestik, serta memastikan terciptanya lapangan-lapangan pekerjaan.
"Pemerintah sendiri telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk mengantisipasi kondisi tersebut. Responsnya beragam," terang Hery.
"Akan tetapi terlepas dari hal itu, ada sejumlah kondisi yang memang harus diantisipasi, seperti terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi, juga permasalahan mata rantai pasok yang berdampak pada keterbatasan suplai, terutama pada barang pokok," tambahnya.