TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) dipercaya tidak akan mempengaruhi perbankan Indonesia.
Bank yang banyak mendanai investasi di bidang teknologi terutama untuk perusahaan rintisan (startup) ini runtuh akibat kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed yang galak menaikkan suku bunga.
The Fed yang terus menaikkan suku bunga menyebabkan para investor menanamkan dananya di deposito dan menyebabkan SVB mengalami krisis modal, hal itu ditambah dengan aksi bank run yang menyebabkan dana di SVB menurun drastis.
Bank yang menyimpan banyak deposit perusahaan rintisan (startup) sekaligus pemberi pinjaman itu akhirnya ditutup otoritas berwenang Amerika Serikat pada Jumat (10/3/2023).
Baca juga: Shanghai Pudong Development Bank Berencana Akuisisi Anak Usaha Silicon Valley Bank di China
Bangkrutnya Bank yang dikenal sebagai pemberi pinjaman terhadap perusahaan rintisan (Startup) ini menjadi sorotan pemerintah Indonesia termasuk Presiden Joko Widodo dan para menteri di sektor keuangan.
Presiden Jokowi mengatakan, kasus Silicon Valley Bank bangkrut ini tidak terduga. Menurut dia, ketidakpastian kondisi ekonomi global memunculkan risiko yang sulit diprediksi.
“Ketidakpastian global juga memunculkan risiko-risiko yang sulit diprediksi, yang sulit kita hitung. Semuanya harus bekerja keras untuk menghindarkan negara kita dari ancaman-ancaman dan risiko-risiko global yang ada," kata Jokowi di Istora GBK, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Jokowi mengatakan, kepanikan mulai terjadi akibat satu bank yang bangkrut. Ia menyebutkan, Indonesia juga berhati-hati setelah peristiwa tersebut.
“Semua negara sekarang ini menunggu efek dominonya akan kemana. Oleh sebab itu, kita hati-hati," tegas Jokowi.
Sri Mulyani Monitor Dampak Silicon Valley Bank Bangkrut
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan memonitor perkembangan Silicon Valley Bank (SVB) berserta dampaknya ke Indonesia.
"(Penutupan SVB) telah menimbulkan guncangan yang sangat signifikan dari sisi kepercayaan deposan di AS," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa (14/3/2023).
Sri Mulyani memastikan terus memantau perkembangan kasus tersebut.
Sebab, kata dia, dalam kondisi yang tidak rasional, khususnya terkait kekhawatiran masyarakat, berpotensi menjadi sentimen tersendiri.
Baca juga: Beralih dari Silicon Valley Bank, Penerbit USDC Circle Gandeng Cross River Jadi Mitra Perbankan
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, meski kasus Silicon Valley Bank bangkrut tak berdampak ke Indonesia, pemerintah tetap berhati-hati menghadapi kondisi negara lain.
“Kelihatan modal atau kapital bank-bank Indonesia juga bagus sekali. Tapi tetap kita tidak boleh jemawa, harus super hati-hati menghadapi kondisi ekonomi global saat ini,” ujar Luhut dilansir dari Kontan.co.id, Rabu.
Di sisi lain, Luhut mengatakan, posisi likuiditas perbankan di Indonesia masih kuat dibandingkan negara lain.
Posisi liquidity coverage ratio atau rasio kecukupan likuiditas Indonesia, kata dia, tercatat 234 persen masih tinggi dibandingkan negara lain misalnya saja Amerika Serikat yang LCR nya di posisi 148 persen, Jepang di 135 persen, China 132 persen, dan Eropa 120 persen.
Pesan Sandiaga untuk Startup
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, perusahaan rintisan (startup) harus mewaspadai kasus Silicon Valley Bank bangkrut dalam menyiapkan strategi bisnis terkait pendanaan yang terus berkembang.
Baca juga: Beralih dari Silicon Valley Bank, Penerbit USDC Circle Gandeng Cross River Jadi Mitra Perbankan
Ia mengatakan perusahaan rintisan dapat melakukan stress test dengan menyiapkan strategi apabila perusahaan tak lagi didanai investor.
"Jadi kita harus menyiapkan skenario a,b,c,d. Skenario terburuk sekalipun harus kita siapkan kita harus terbuka. Namun tentunya dilakukan dengan penuh kebijaksanaan," kata Sandiaga, Rabu, dikutip Antara.
Sementara itu, pengamat ekonomi digital dari Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, kasus Silicon Valley Bank akan berpengaruh sikap lembaga pembiayaan luar negeri dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan rintisan (startup).
"Saya rasa dampaknya adalah semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Hal tersebut juga akan semakin berat mengingat porsi pendanaan dari AS ke startup digital kita cukup besar," kata Nailul saat dihubungi Kompas.com, Rabu.
Atas hal tersebut, Nailul mengatakan, para perusahaan rintisan (startup) harus berupaya meningkatkan sumber pendanaan dari dalam negeri.
"Maka dari itu, sumber pendanaan dari dalam negeri perlu ditingkatkan lagi untuk antisipasi hal ini," ucap dia.
Startup Sulit Dapatkan Pendanaan Luar Negeri
Lantas, bagaimana dampak kolapsnya Silicon Valley Bank terhadap Start Up di Indonesia? Pengamat Ekonomi Digital Institut of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, kolapsnya Silicon Valley Bank akan berpengaruh pada pendanaan dari lembaga pembiayaan luar negeri kepada perusahaan rintisan (startup) Indonesia.
Baca juga: FDIC Akan Kembali Lelang Silicon Valley Bank
"Saya rasa dampaknya adalah semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Hal tersebut juga akan semakin berat mengingat porsi pendanaan dari AS ke startup digital kita cukup besar," kata Nailul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/3/2023).
Startup RI harus tingkatkan pendanaan dari dalam negeri
Berdasarkan hal tersebut, Nailul mengatakan, para perusahaan rintisan (startup) harus berupaya meningkatkan sumber pendanaan dari dalam negeri.
"Maka dari itu, sumber pendanaan dari dalam negeri perlu ditingkatkan lagi untuk antisipasi hal ini," ujarnya.
Di samping itu, Nailul menilai, bangkrutnya Silicon Valley Bank ini dikarenakan tingkat suku bunga AS meningkat tajam dan pengelolaan dana yang buruk.
Hal tersebut, kata dia, membuat nasabah meminta agar dana ditempatkan ke bank dengan suku bunga lebih tinggi. Selain itu, perusahaan rintisan yang mempunyai hutang ke SVB justru tengah jeblok.
"Kemudian uang SVB di pemerintah pun tenor jangka panjang. Maka SVB kelimpungan mencari dana untuk menutupi likuiditasnya," ucap dia.
Waspadai siklus bisnis
Secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, kolapsnya SVB akan berdampak kepada perusahaan rintisan untuk mendapatkan pendanaan.
Karenanya, ia menyarankan agar perusahaan rintisan mulai berhati-hati menghadapi siklus bisnis.
"Saya perhatikan startup harus hati-hati menghadapi siklus bisnis, bisnis itu kan turun naik, kadang siklus bisnis naik, ekspansinya terlalu berlebihan, maka harus terukur," kata David saat dihubungi Kompas.com, Rabu.
David juga mengatakan, pihak perbankan di Indonesia pun hanya sedikit yang mau memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan.
Ia mengatakan, pihak perbankan biasanya melihat profit dari perusahaan rintisan untuk mempertimbangkan pemberian pendanaan.
"Tapi itu bisa dihitung dengan jari, mungkin enggak banyak dari perbankan (berikan pendanaan ke start up)," ujarnya.
Untuk diketahui, Silicon Valley Bank yang merupakan salah satu bank terbesar di AS itu mengalami kebangkrutan usai terjadi aksi bank run dari nasabahnya. Setelah aksi tersebut, Silicon Valley Bank kolaps hanya dalam rentang 48 jam.
Sejak didirikan pada 1983, SVB memiliki spesialisasi layanan keuangan seperti deposito, pendanaan, serta pinjaman untuk perusahaan rintisan dan yang sudah mapan.
SVB juga menyediakan layanan pengelolaan modal dari investor atau pemodal ventura.
Dalam hal penyebab Silicon Valley Bank bankrut, secara umum berkaitan dengan tiga peristiwa, yaitu kebijakan The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) dalam menaikkan suku bunga secara agresif, krisis modal yang dialami SVB, dan aksi bank run.
(Kompas.com/Haryanti Puspa Sari/Kontan.co.id/Tribunnews.com)