“Banyak perusahaan EPC yang harus berhenti menjalankan usaha, karena sejak Permen ESDM No 26/2021 muncul dan tidak dilaksanakan sepenuhnya, pemasangan menjadi tertunda dan bahkan batal,” ujarnya dalam kesempatan yang sama
Baca juga: IESR: Harga PLTS Atap Makin Murah, Bisa Digunakan untuk Perumahan
Firmansyah menegaskan Perplatsi juga menolak draft rencana revisi Permen ESDM No 26/2021 dalam hal peniadaan ekspor dan impor listrik dari pengguna PLTS, serta diperlukannya pertimbangan matang untuk sistem kuota per daerah.
Erlangga Bayu mewakili Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali menerangkan, di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya PLTS yang sudah terpasang hanya disetujui oleh PLN sebagian.
“Sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sebagian, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” terangnya.
Menurut Erlangga, banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut.
Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Hal ini merupakan kontribusi nyata gotong royong untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca.
“Bagi perusahaan PLTS yang masih skala kecil seperti kami ini sangat berdampak, karena klien tidak mau melunasi pembayaran sampai PLN memasang meteran ekspor impor, bahkan ada perusahaan yang sampai mem-PHK karyawan,” Erlangga menambahkan.
PERPLATSI dan APSA Bali juga sudah berusaha melakukan advokasi langsung dengan berkirim surat ke Gubernur, DPR, DPD, hingga Kementerian ESDM; namun belum ada perubahan yang signifikan.
Ketua Umum Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Yohanes Sumaryo, menyampaikan beberapa dari anggota asosiasi mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban.
“Sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya,” tegasnya.
Berdasarkan skenario NZE Indonesia 2060 dari International Energy Agency (IEA) dan Kementerian ESDM, PLTS memiliki porsi besar, terutama PLTS skala besar. Hingga tahun 2030 diperlukan 65 GW PLTS untuk sejalan dengan target NZE.
Energi surya dan angin akan berkontribusi hingga 55 persen dari total semua sumber energi kelistrikan hingga tahun 2060.
Sayangnya dalam 5 tahun terakhir, hanya terdapat sedikit PLTS skala besar (di atas 20 MW) yang telah dilelang dan beroperasi dengan baik.
PLTS Bali Barat dan Bali Timur 2x25 MW yang telah dilelang sejak 2019 belum juga menunjukkan tanda-tanda konstruksi – salah satunya disebabkan karena negosiasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) yang berkepanjangan dan ketentuan TKDN yang memerlukan waiver dari Kementerian Perindustrian.