Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi transaksi mencurigakan Rp 349 triliun oleh pegawai Kementerian Keuangan berdasar paparan Menko Polhukam Mahfud MD dan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) masih terus berlanjut.
Rabu (29/3/2023) kemarin, Komisi III DPR sudah mencecar Menko Polhukam Mahfud MD ihwal temuan ratusan triliun transaksi mencurigakan tersebut.
Namun hal tersebut belum membuat DPR puas. Sebaliknya makin gusar.
Komisi III DPR sudah mengagendakan akan kembali menggelar rapat kerja dengan Mahfud MD yang juga Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan rapat itu juga akan dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga anggota Komite TPPU.
Selain kedua pejabat tersebut, Sahroni menyebut rapat tersebut nantinya akan mengundang Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
"Nanti setelah temuan apa yang sudah dikonfrontasi bersama dan ada tindak pidana pencucian uang, maka kita akan merekomendasikan ke aparat penegak hukum dari tiga institusi, ada kepolisian, ada Kejaksaan, ada KPK," kata Sahroni di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Menurut Sahroni, sejauh ini belum ada temuan tindak pidana terkait TPPU tersebut. Sebab, belum terungkap soal awal mula tindak pidananya.
"Belum ada tindak pidananya. Masih panjang ini ceritanya maka itu kita akan rapat lagi bersama dengan tiga institusi secepatnya," ujarnya.
Dia menuturkan Komisi III DPR ingin mensinkronisasikan data yang sudah disampaikan Mahfud.
Baca juga: Mahfud MD Beberkan 4 Definisi TPPU Saat Rapat Bareng DPR Bahas Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun
Hal itu dikarenakan ada beberapa penjelasan Mahfud yang dinilai tak senada dengan Sri Mulyani.
"Nah maka itu kalau ada Bu Menteri Keuangan ini akan kita sinkronisasi, kita sama-sama nunjukin untuk kita saksikan keterbukaan apa yang disampaikan oleh Pak Menko," imbuhnya.
Nasdem Usulkan Bentuk Pansus
Terkait kontroversi transaksi janggal pegawai Kemenkeu ini, Fraksi Partai NasDem mengusulkan pembentukan Panitia khusus (Pansus).
NasDem beralasan, hasil rapat Komisi III DPR dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rabu (29/3/2023), justru malah memunculkan banyak kebingungan.
Terutama akibat adanya dua data yang berbeda antara Komite TPPU dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Walaupun tadi masih belum menemui kesepakatan, tapi kami terutama dari (Fraksi) NasDem, mengusulkan untuk dibentuk Pansus terkait kasus ini. Sebab kita ingin kasus ini bisa mengalami percepatan penyelesaian," kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, kepada wartawan Kamis (30/3/2023).
Dalam rapat tersebut, Ketua Tim Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menegaskan bahwa dirinya mengucapkan informasi atau keterangan temuan fantastis itu secara agregat, dengan tidak menyebut nama siapa pun.
Menurut Mahfud MD, kebingungan yang terjadi akibat Sri Mulyani tidak memiliki akses yang maksimal terhadap laporan-laporan. Seperti kesalahan paparan data pajak yang padahal merupakan data bea cukai.
Karena itu Ahmad Sahroni selaku pimpinan tetap berencana akan memanggil kembali Komite TPPU bersama dengan Menkeu Sri Mulyani sebagai anggotanya.
"Karena tadi disebutkan ada perbedaan kesepahaman antara data Komite TPPU dengan Menkeu, maka kami akan gelar rapat kembali dengan Komite TPPU. Namun kami ingin Bu Menkeu turut hadir. Agar kita bisa jawab semua kebingungan ini," pungkas Sahroni.
Mahfud MD sendiri dalam rapat di DPR Rabu kemarin mencoba meluruskan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkait dugaan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp349 triliun.
"Kemarin Ibu Sri Mulyani di komisi 11 (DPR RI) menyebut hanya 3 triliun, yang benar 35 triliun," ungkap dia.
Mahfud menyebutkan transaksi keuangan mencurigakan itu dibagi menjadi 3 kelompok. "Transaksi keuangan yang 349 triliun itu dibagi ketiga kelompok," ujar Mahfud
Pertama, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai kementerian keuangan, dimana angkanya mencapai 35 triliun.
Kemudian transaksi keuangan yang diduga melibatkan pegawai Kementeri keuangan dan pihak lainnya, besar 53 triliun plus sekian.
Kelompok ketiga, transaksi keuangan terkait kewenangan keuangan sebagai penyidik tindak pidana TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu sebesar 260,1 triliun.
"Sehingga jumlahnya 349 triliun fix. Nanti kita tunjukkan suratnya," ucap Mahfud.
Sementara itu pada RDP diawal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah temuan transaksi mencurigakan senilai total Rp 349 triliun seluruhnya terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Menurutnya, dari total Rp 349 triliun temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya ada Rp 3,3 triliun melibatkan pegawai Kemenkeu.
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009-2023, 15 tahun," kata Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Demokrat Usulkan Hak Angket
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Santoso mengusulkan agar DPR mengajukan Hak Angket untuk mengusut dugaan transaksi janggal Rp349 triliun di internal pegawai Kemenkeu.
Santoso menyebut satu-satunya proses yang bisa ditempuh oleh DPR adalah melalui hak angket.
"Kalau kita ingin kiranya persoalan ini selesai terbuka kotak pandora ini, dan rakyat mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi, menurut saya hanya satu proses yang bisa kita lewati yaitu melalui hak angket," kata Santoso dalam rapat Komisi III DPR bersama Mahfud MD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Hak angket DPR merupakan hak dewan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Santoso mengungkap alasan hak angket DPR perlu dipilih, agar permasalahan ini menjadi jelas dan terang. Rakyat juga bisa tahu siapa yang menyampaikan kebenaran soal transaksi janggal tersebut.
"Agar persoalan ini menjadi terang-benderang dan rakyat akan tahu siapa yang benar-benar menyampaikan kebenaran tentang adanya persoalan uang Rp 300 sekian triliun dan siapa yang memutarbalikkan fakta ini," ujarnya.
Kendati demikian, dia menyerahkan usulannya ini kepada fraksi di DPR. Dirinya hanya jadi pihak yang memulai usulan hak angket.
"Meskipun keputusannya ada di fraksi-fraksi, tapi saya memberanikan diri untuk nyatakan ini," katanya.
Baca juga: Bongkar Transaksi Rp 349 T, Benny K. Harman Sentil Mahfud MD: Jangan-jangan Cari Panggung Pilpres
Pada RDP di awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah temuan transaksi mencurigakan senilai total Rp 349 triliun seluruhnya terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Menurut Sri Mulyani dari total Rp 349 triliun temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya ada Rp 3,3 triliun melibatkan pegawai Kemenkeu.
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009-2023, 15 tahun," kata Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Penjelasan PPATK
Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi (PPATK) Ivan Yustiavandana, menjelaskan mengenai isu transaksi mencurigakan sekitar Rp 349 triliun yang dipermasalahkan Menko Polhukam Mahfud MD, ada perbedaan data yang dipegang oleh Mahfud MD dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Mahfud MD menyebut, dari jumlah Rp 349 triliun transaksi mencurigakan yang ada di Kemenkeu senilai Rp 35 triliun.
Namun hal itu ditepis oleh Menkeu Sri Mulyani menjadi Rp 3,3 triliun yang dia sampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI beberapa hari lalu.
"Ini tidak mau meng-counter pendapat siapa pun juga dengan rasa hormat, dengan rasa kerendahan hati, hanya ingin mengungkapkan fakta sebenarnya terkait dengan klaster yang tadi," kata Ivan dalam RDPU dengan Komisi III, Rabu (29/3/2023).
Dikatakan Ivan, angka Rp 35 triliun yang ditemukan oleh PPATK berasal itu dari perusahaan-perusahaan cangkang yang di miliki dari satu oknum.
Bahkan, Ivan pun telah menyampaikan data tersebut kepada Bea Cukai. Namun, hasil data pemeriksaan itu tidak ada berkasnya di Kemenkeu.
"Kami menyampaikan banyak perusahaan jadi misalnya oknumnya satu, perusahaanya lima, tujuh dan segala macam," ucap dia.
"Ini dikeluarkan, sehingga angka Rp 35 triliun yang ditemukan oleh PPATK. Setelah dikeluarkan entitas perusahaan menjadi Rp 22 triliun yang tidak ada Kemenkeu. Lalu dikeluarkan lagi dari entitas yang ada Kemenkeu menjadi Rp 3,3 triliun," sambungnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah temuan transaksi mencurigakan senilai total Rp 349 triliun seluruhnya terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Menurutnya, dari total Rp 349 triliun temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya ada Rp 3,3 triliun melibatkan pegawai Kemenkeu.
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun. Ini 2009-2023, 15 tahun," kata Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Sri Mulyani menjelaskan pihaknya menerima sebanyak 300 surat soal transaksi Rp 349 triliun dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana pada Senin, 13 Maret 2023.
Baca juga: PDIP Pertanyakan Mengapa Mahfud MD Baru Ungkap Transaksi Janggal Rp349 Triliun di Tahun Politik
Dia menyebut 300 surat terdiri dari 135 inquiry Kemenkeu, 65 inisiatif PPATK, dan 100 surat yang dikirim ke aparat penegak hukum (APH).
"100 surat itu adalah surat PPATK kepada APH lain bukan ke kita dengan nilai transaksi Rp 47 triliun. Itu periodenya 2009-2023," ujar Sri Mulyani.
Sementara dalam 65 surat dengan nilai transaksi Rp 253 triliun adalah terkait data dari transaksi, debit, kredit operasional perusahan-perusahaan dan korporasi yang tidak ada hubungan dengan pegawai Kemenkeu.
"Sehingga yang benar-benar berhubungan dengan kami terkait dengan kalau ini menyangkut tupoksi pegawai Kemenkeu ada 135 surat, nilainya Rp 22 triliun," jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan dari Rp 22 triliun tersebut, hanya Rp 3,3 triliun yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu.
Laporan Reporter: Fersianus Waku/Chaerul Umam/Danang Triatmojo dan Nitis Hawaroh