Meski demikian, Jumisih mengajak kepada seluruh buruh perempuan, agar tidak tunduk terhadap aturan-aturan yang merugikan buruh perempuan.
Lantaran, negara telah menjamin hal tersebut, sehingga hanya dibutuhkan keberanian untuk melaporkannya.
"Sekarang kan sudah ada UU (Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetapi PP turunannya masih dalam proses perancangan. Namun sebetulnya, itu juga bisa dimanfaatkan supaya pihak korban mendapatkan keadilan, dengan melapor ke posko pembelaan, atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat dan juga pihak kepolisian," katanya.
Selain itu, Jumisih meminta, apabila hal itu terbukti nyata, maka pihak perusahaan dan juga pemerintah harus bertanggungjawab.
Dengan demikian, tidak ada lagi buruh, khususnya buruh perempuan, yang menjadi korban akibat regulasi yang buruk dan pemanfaatan relasi kuasa yang sewenang-wenang.
Persoalan tersebut juga harus meminta pertanggungjawaban dari pengusaha dan juga pemerintah, di mana sebagai korban, pekerja berhak untuk mendapatkan keadilan.
"Ketika korban melapor, tentu saja harus mendapatkan pendampingan hukum, waktu, kesempatan dan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan dengan catatan tidak mengintimidasinya," pungkasnya.