Menyikapi hal itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, belum terbayarnya rafaksi karena belum ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur terkait pembayaran utang ini.
"Jadi, BPDPKS itu mau bayar, tetapi Permendagnya sudah tidak ada. Maka perlu adanya payung hukum. BPDPKS mau bayar kalau ada aturannya. Kalau tidak ada aturannya, BPDPKS bisa masuk penjara," ujar Zulkifli di kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (4/5/2023).
Sebelumnya, ada Permendag Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada pasal 7 dalam Permendag tersebut menyatakan, pelaku usaha akan mendapat dana dari BPDPKS.
Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan di pasar.
Baca juga: Update Diskon Minyak Goreng di Alfamart dan Indomaret, 18 April 2023: Camar 2L Turun Jadi Rp33.900
Dalam Permendag tersebut, HET ditetapkan sebesar Rp14 ribu per liter.
Namun, regulasi itu kemudian dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tetinggi Minyak Goreng Sawit.
Zulkifli mengatakan, saat ini Kementerian Perdagangan sedang menunggu fatwa hukum dari Kejaksaan Agung terkait pembayaran rafaksi ini.
Apabila Kejaksaan Agung sudah merespons, Kemendag baru akan membuat surat untuk pembayaran utang tersebut.
"Kita perlu fatwa hukum. Itu yang diminta Sekjen ke Kejaksaan Agung. Dari Kejaksaan Agungnya juga belum ada hasilnya. Kalau sudah ada nanti kita bilang dan bikin surat untuk langsung membayar utang tersebut," ujar Zulkifli.