TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kewaspadaan dalam pengelolaan perekonomian harus terus ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan yang mampu memperkuat stabilitas nasional.
Dampak tahun politik di dalam negeri dan gejolak perekonomian dunia harus menjadi perhatian bersama.
"Semua pihak harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif agar pertumbuhan ekonomi dapat menopang stabilitas nasional di tengah ancaman gejolak ekonomi global dan tantangan tahun politik di dalam negeri," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutannya pada diskusi daring bertema Indikator Ekonomi Indonesia Q1 2023 dan Masa Depan USD yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (10/5/2023).
Baca juga: ASEAN Bisa Jadi Pusat Stabilitas Ekonomi Dunia Pada 2045
Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (dosen Universitas Pelita Harapan) menghadirkan Dr. Agustinus Prasetyantoko (Rektor Unika Atma Jaya) dan Berly Martawardaya (Direktur Riset INDEF) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Syamsul Ashar (Vice Managing Editor KONTAN) dan Fetry Wuryasti (Jurnalis Media Indonesia) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, pada kuartal I 2033 perekonomian nasional menunjukkan indikator yang cukup mengembirakan.
Namun, tambah Rerie sapaan akrab Lestari, dalam satu acara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan permasalahan dunia selepas pandemi akan semakin kompleks, karena selama tiga tahun pandemi dunia tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Menyikapi kondisi tersebut, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perlu upaya membangun sistem jaring pengaman karena yang kita hadapi adalah gejolak kondisi global.
Gejala global tersebut, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, dari sisi korporasi sudah mulai dirasakan dengan terjadinya gejolak mata uang dolar AS.
Rektor Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko mengungkapkan, meski pada kuartal I 2023 pertumbuhan ekonomi nasional cukup baik, namun para pakar ekonomi memperkirakan akan sulit pertumbuhan serupa akan berlanjut di kuartal-kuartal berikutnya.
Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2023, menurut Agustinus, masih dipengaruhi pertumbuhan di akhir 2022 yang efeknya semakin melemah.
Padahal, tegas Agustinus, perekonomian Indonesia sebenarnya membutuhkan pertumbuhan lebih dari 6 persen-7% agar mampu lepas ancaman menjadi negara middle income trap.
"Apakah pemimpin baru Indonesia nanti bisa membawa warna baru sehingga kita memiliki peluang untuk lepas dari middle income trap, dengan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi," ujar Agustinus.
Indonesia, tegas dia, membutuhkan pertumbuhan di sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor manufaktur dan pertanian, agar pertumbuhan ekonomi bisa didorong lebih tinggi.
Diakuinya, secara perlahan Amerika Serikat (AS) tidak akan mendominasi perekonomian dunia karena di dalam negeri mereka memiliki fundamental ekonomi yang kropos.
Sejumlah negara maju di Eropa dan AS perlahan terpuruk. Menurut Agustinus, seiring pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia, sejumlah negara di Asia berpotensi menjadi negara maju, termasuk Indonesia.
Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya mengungkapkan sejumlah sektor di Indonesia yang tumbuh di bawah rata-rata saat ini adalah industri, pertambangan, pertanian dan perdagangan.
Untuk mendorong sejumlah sektor tersebut, ujar Berly, membutuhkan dorongan yang lebih besar. Diakuinya, dengan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini akan lebih sulit.
Apalagi, tegas Berly, dua faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah good policy dan good luck. "Kita butuh good effort untuk ciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,' ujarnya.
Terkait pengurangan pemakaian mata uang dolar AS, menurut Berly, harus diwaspadai peningkatan kebutuhan transportasi yang berdampak pada peningkatan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), yang pengadaannya melalui impor.
Di sisi lain, tambah dia, harga minyak sawit yang merupakan andalan ekspor Indonesia harganya mulai turun.
"Harus segera dilakukan upaya peningkatan nilai tambah dan diversifikasi produk turunan kelapa sawit, sambil mengupayakan terus peningkatan pemanfaatan energi terbarukan di tanah air," ujar Berly.
Selain itu, tambah dia, dalam strategi pembiayaan investasi perlu diterapkan kebijakan local sattlement currency (LSC) dan local sattlement payment (LSP), untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Upaya impor dari Tiongkok, Malaysia dan Thailand yang sebesar 45% dari total impor Indonesia, ungkap Berly, bisa memanfaatkan kebijakan LSC.
Vice Managing Editor KONTAN, Syamsul Ashar berpendapat faktor geopolitik dampak konflik Rusia dan Ukraina masih mempengaruhi perekonomian dunia dan nasional.
Menurut Syamsul, memacu pertumbuhan sektor manufaktur dengan memanfaatkan pendanaan dari luar negeri, malah akan memacu kebutuhan Indonesia terhadap dolar AS akan semakin tinggi.
Perlu diupayakan pola pembiayaan alternatif, tambahnya, dalam upaya membangun sektor manufaktur nasional yang lebih kuat.
Baca juga: Jurus BI Jaga Stabilitas Keuangan dan Dorong Pemulihan Ekonomi Nasional
Jurnalis Media Indonesia, Fetry Wuryasti berpendapat penerapan kebijakan LSC dan LSP kerap hanya dijalankan pada awal kesepakatan saja, belum ada konsistensi pemanfaatannya.
Selain itu Fetry juga mengkritisi mekanisme pemberian bantuan sosial (Bansos) sebagai salah satu cara untuk menggerakkan perekonomian masyarakat.
Dia berpendapat, Bansos harus diarahkan pada upaya yang lebih produktif agar manfaatnya dapat terus berlanjut.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat ketergantungan terhadap mata uang dolar AS harus mulai diakhiri.
Karena, menurut Saur, dari sisi utang yang 129% dari GDP-nya itu, Amerika Serikat bisa dianggap sebagai negara bangkrut. Saur mendorong di masa datang pemanfaatan mata uang di luar dolar AS harus ditingkatkan.
Saur menilai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kinerja di sektor manufaktur yang cukup tinggi, merupakan pekerjaan rumah yang pelik dan harus dihadapi pemerintahan baru mendatang.