Peluang ini dilihat oleh Thay San Kongsie yang kemudian membuka toko buku impor dan majalah.
Kios mereka cukup sederhana dan berlokasi di Jakarta. Namun, toko buku Tay San Kongsie lebih baik dibandingkan toko buku asing.
Keuntungan buku lebih besar daripada penjualan rokok dan bir yang awalnya ditekuni Tay San Kongsie. Kongsi ini pun menutup usaha rokok dan bir lalu beralih fokus ke toko buku.
Pada 1951, Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Rumah itu ditata dan dibuat percetakan kecil pada bagian belakang.
Berkembang menjadi firma
Seiring perkembangan bisnis yang semakin besar dan kompleks di awal tahun pasca kemerdekaan, Tjio Wie Tay mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung pada 1953.
Ide ini ditolak oleh Lie Tay San sehingga ia mundur dari kongsi tersebut.
Lalu, berdirilah Firma Gunung Agung yang ditandai dengan perhelatan pameran buku di Jakarta pada 8 September 1953.
Berangkat dari modal Rp 500.000
Dengan modal Rp 500.000, Gunung Agung mampu memamerkan 10.000 buku, jumlah yang sangat fantastis pada masa itu.
Pameran tersebut menjadi momentum awal bisnis Toko Buku Gunung Agung pada 1953.
Setahun kemudian, Tjio Wie Tay kembali memprakarsasi pameran buku lebih megah bernama Pekan Buku Indonesia 1954.
Pada pameran buku ini pula Gunung Agung memulai tradisi penyusunan bibliografi (daftar buku lengkap) dalam bentuk katalog.
Bahkan, Gunung Agung membentuk tim khusus bernama Bibliografi Buku Indonesia yang dipimpin oleh Ali Amran yang juga menjadi kepala Bagian Penerbit PT Gunung Agung.