Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta mengevaluasi regulasi impor bawang putih.
Hal itu guna memastikan efektivitas dan dampaknya terhadap kebutuhan bawang putih di Tanah Air.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan, bawang putih termasuk bahan baku utama konsumsi rumah tangga dan industri makanan minuman.
Baca juga: Tito Karnavian Ingatkan Pemda untuk Cegah Penimbunan Bawang Putih
"Ketersediaannya perlu dipastikan untuk menghindari kelangkaan dan melonjaknya harga,” katanya dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Selasa (30/5/2023).
Hasran menuturkan, harga bawang putih berada pada angka Rp 30.670/kg pada April 2022.
"Harga ini kemudian melambung menjadi Rp36.170/kg pada Mei 2023," ujarnya.
Kenaikan harga ini, kata Hasran, perlu disikapi segera guna menjaga keterjangkauan industri dan konsumen rumah tangga terhadap komoditas yang satu ini.
Saat ini, sekitar 90 persen-95% kebutuhan bawang putih di Indonesia diperoleh melalui impor dari Cina, India dan juga AS.
Indonesia mengimpor bawang putih karena kondisi memiliki cuaca yang tidak begitu cocok.
"Sayangnya, walaupun sudah menempuh jalur impor, harganya di pasaran tetap tinggi," kata Hasran.
Hasran menduga fenomena naiknya harga ini disebabkan oleh prosedur impor yang tidak efisien.
"Biaya logistik di dalam negeri juga masih tinggi," ujarnya.
Proses importasi bawang putih dimulai dari pengurusan dokumen Rencana Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Untuk mendapatkan RIPH ini, pelaku usaha pemegang API-U dan API-P perlu menyiapkan persyaratan teknis dan administrasi termasuk memenuhi kewajiban tanam.
RIPH ini kemudian akan dilampirkan dalam pengurusan persetujuan impor (PI) yang prosesnya juga sangat panjang karena masih manual.
Dalam situasi terjadi lonjakan harga dan jumlah pasokan menipis, impor dapat dilakukan oleh BUMN.
"Sayangnya prosesnya juga cukup panjang karena BUMN tersebut membutuhkan mandat dari Menteri BUMN," kata Hasran.
Ditambah lagi, Menteri BUMN tersebut harus menunggu hasil rapat terbatas (Rakortas).
"Sangat mungkin proses yang panjang tersebut juga berkontribusi pada terlambat masuknya bawang putih ke pasar," ujar Hasran.
Hasran merekomendasikan beberapa hal seperti perlunya evaluasi terhadap beberapa kebijakan impor.
Salah satunya adalah kebijakan wajib tanam sebagai persyaratan mendapatkan Persetujuan impor.
"Kebijakan ini membebani pelaku usaha karena harus mengalokasikan energi dan sumber daya untuk melakukan penanaman yang bukan keahliannya," kata Hasran.
Lima tahun sejak kebijakan ini diperkenalkan, kata dia, jumlah produksi bawang putih tetap tidak meningkat.
"Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini memang kurang efektif," ujarnya.
Selanjutnya, Hasran mengatakan Kementerian Perdagangan perlu meninjau kembali kebijakan hambatan non-tariff atau non-tariff measures (NTM), terutama pada importasi bawang putih.
"Kebijakan NTM yang tidak perlu akan membuat importasi menjadi terlambat dan berdampak pada harga jual yang lebih mahal," kata Hasran.
Biaya logistik merupakan salah satu penyumbang tingginya harga bahan pokok di dalam negeri.
Baca juga: Harga Bawang Putih Mahal, IKAPPI: Di Atas Rp 35 Ribu Sudah Enggak Wajar
Hasran menyebut pemerintah perlu memprioritaskan penurunan biaya logistik pada sektor pangan.
“Kemendag, Kementan, dan Kemenperin perlu melonggarkan restriksi kuantitatif pada produk-produk pangan dan pertanian yang digunakan untuk produksi manufaktur makanan dan minuman,” ujarnya.
Hasran juga menambahkan, bawang putih juga belum masuk dalam komoditas yang diatur dalam Neraca komoditas.
"Sistem Neraca komoditas perlu terus dikembangkan oleh Kemenko Perekonomian agar dapat mencakup seluruh komoditas bahan pokok termasuk bawang putih," kata Hasran.
"Dengan masuknya bawang putih ke dalam Neraca Komoditas, persyaratan teknis dan administrasi dapat dipangkas sehingga penerbitan persetujuan impor dapat dipercepat," lanjutnya.