Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) gencar menyegel proyek-proyek reklamasi yang tak sesuai aturan bahkan tak memiliki izin operasi.
Dalam kurun waktu tujuh bulan atau hingga Juli ini, setidaknya KKP telah menyegel empat proyek reklamasi yang masih beraktivitas meski tak memiliki izin.
Adapun keempat proyek tersebut terletak di Kepulauan Riau, Batam dan Morowali.
Berikut daftar proyek reklamasi yang disegel KKP hingga Juli 2023.
Penyegelan proyek reklamasi milik PT BSSTEC dan PT MPP di Kepulauan Riau
Pada Februari lalu, KKP menghentikan dua proyek reklamasi milik PT BSSTEC dan PT MPP di Kepulauan Riau.
Diketahui, dua proyek tersebut dihentikan lantaran tak memiliki dokumen Izin Reklamasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksda TNI Adin Nurawaluddin mengatakan, setiap pelaku usaha yang memanfaatkan ruang dari perairan pesisir wajib dilengkapi PKKPRL.
Kata dia, jika ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa pelaku usaha dengan sengaja mengabaikan seluruh ketentuan Perizinan Berusaha, maka akan dikenakan sanksi administratif.
Baca juga: Dikritik Anies Baswedan Soal Ekspor Pasir Laut, Menteri KKP Trenggono Singgung Reklamasi Saat Eranya
"Benar bahwa hasil pengawasan ruang laut oleh Polisi Khusus Pengawasan Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K) Pangkalan PSDKP Batam, dua proyek reklamasi tersebut tidak dilengkapi Izin Reklamasi dan PKKPRL," kata Adin dalam keterangannya, dikutip Minggu (4/2/2023).
Adin mengatakan, lahan dasar sebelum reklamasi diketahui merupakan milik pihak ketiga yang telah melakukan perjanjian pinjam pakai tanah dengan PT BSSTEC dan PT MPP.
"Data yang didapat dari pemilik lahan, pengalokasian lahan yang dipergunakan oleh PT. BSSTEC seluas 30.000 m2, sedangkan PT. MPP seluas 53.623 m2," ujar dia.
Kata Adin, pada kasus PT BSSTEC, proyek reklamasi telah berlangsung sejak 10 November 2022. Pihak perusahaan mengaku bahwa reklamasi tersebut dikarenakan longsoran akibat dampak kegiatan cut and fill.
"Saat petugas mendatangi PT BSSTEC, perusahaan tersebut mengakui belum memiliki PKKPRL," paparnya.
Sementara untuk kasus PT MPP, lanjut Adin, proyek reklamasi terindikasi telah berlangsung sejak 3 September 2022 dan telah membangun pondasi.
Dia menerangkan, berdasarkan pengakuan dari pihak perusahaan, pondasi masih berada di dalam pengalokasian lahan yang telah diterbitkan dan masih tersisa 1 meter dari batas pengalokasian lahan.
Namun, hasil pemetaan oleh petugas, pondasi tersebut rupanya keluar dari pengalokasian lahan yang diterbitkan. Petugas juga mendapati bahwa proyek reklamasi maupun pembangunan pondasi belum memiliki PKKPRL.
"Sesuai dengan PermenKP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan, PT BSSTEC dan PT MPP dinyatakan telah melanggar aturan dan akan dikenakan sanksi Paksaan Pemerintah untuk investigasi lebih lanjut," tegasnya.
Penyegelan proyek reklamasi tambang nikel di Morowali
Selanjutnya pada Maret 2023, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) menghentikan proyek reklamasi tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
Penghentian tersebut merupakan bentuk tindakan paksaan Pemerintah sebagai tindak lanjut hasil pengawasan lapangan yang dilakukan oleh Polisi Khusus (Polsus) Pengawasan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) Pangkalan PSDKP Bitung dan Direktorat Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan (PPSDK) Ditjen PSDKP KKP.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Adin Nurawaluddin menjelaskan, berdasarkan hasil pengawasan tersebut, PT BTII diduga melakukan pembangunan jetty atau dermaga tambang nikel tanpa zin reklamasi dan tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
“Berdasarkan hasil pengawasan dan pemeriksaan Polsus PWP3K menyimpulkan bahwa proyek di atas lahan reklamasi PT. BTII ini tidak memiliki izin reklamasi dan dokumen PKKPRL yang dipersyaratkan, oleh karena itu kami hentikan sementara kegiatannya,” ujar Adin dalam keterangan yang diperoleh, Sabtu (18/3/2023).
Baca juga: Tambang Pasir Ilegal di Klaten Digrebek Polisi, Modus Pelaku Ingin Lakukan Reklamasi
Adin menjelaskan bahwa tindakan tegas tersebut dilaksanakan untuk memastikan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan dan kesehatan ekologi pesisir.
Dengan penghentian sementara kegiatan berusaha yang dilakukan, PT BTII harus menghentikan segala aktivitas pembangunan proyek di atas lahan reklamasi tersebut sambil mengurus perizinan yang dipersyaratkan.
Tindakan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 yang diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2022, tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan.
"Dengan penghentian kegiatan ini, PT. BTII harus segera mengurus dokumen Perizinan Reklamasi dan PKKPRL di Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, serta memenuhi denda administratif sebelum kegiatan operasional usahanya dilanjutkan", pungkas Adin.
Adapun dasar hukum yang dilanggar oleh PT BTII adalah Pasal 18 Angka 12, Angka 17 Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja jo. Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko jo. Pasal 101 ayat (3), Pasal 188, Pasal 195, dan Pasal 196 PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang jo. Pasal 15 Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Penyegelan proyek reklamasi di Batam milik PT BMI
Kemudian pada Mei 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) kembali menyegel sebuah wilayah reklamasi di Teluk Tering, Batam.
Adapun penyegelan ini disebabkan oleh perusahaan yang melakukan reklamasi, PT BMI, tidak memiliki izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) serta izin reklamasi.
Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono hadir langsung melakukan penyegelan wilayah reklamasi seluas 3.000 meter persegi ini mengatakan, penyegelan dilakukan lantaran tak patuh perizinan.
"Ini adalah satu contoh yang coba kita tertibkan dengan baik. Idealnya adalah sebelum dilakukan reklamasi ini mestinya diurus dulu [perizinannya]," kata Trenggono, Kamis (8/6/2023).
"Kemudian, akan dilihat apakah boleh ini dibuat untuk reklamasi. Karena menyangkut soal ekologi dan sebagainya," lanjutnya.
Trenggono mengatakan, operasional di wilayah reklamasi ini akan dihentikan dulu selama perizinan diurus oleh perusahaan terkait.
"Ini sekarang ditutup. Kita hentikan (operasionalnya). Karena kalau mau dibongkar ya percuma. Terus terang saja, ini di bawahnya sudah rusak," ujarnya.
Ke depannya, Trenggono menegaskan tak akan hanya sekadar menghentikan operasional untuk sementara waktu, tetapi akan membongkar reklamasinya.
"Ke depannya pasti kita bukan hanya hentikan. Kita minta bongkar. Efek jeranya bisa seperti itu. Nanti kalau sudah begini, terus kemudian hanya misalnya mengurus izin terus diperbolehkan lagi, untuk kasus ini, semua akan minta seperti itu," kata Trenggono.
Penyegelan proyek reklamasi milik PT DIA di Kepulauan Riau
Baru-baru ini, KKP kembali menutup proyek reklamasi tak berizin di Batam, Kepulauan Riau.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Dr. Adin Nurawaluddin mengatakan, lahan reklamasi tersebut merupakan milik PT. DIA yang rencananya akan dibangun kawasan pemukiman serta fasilitas penunjang lainnya.
"Hasil sidak kami bersama Ketua Komisi IV, Ditjen PKRL dan Ditjen Gakkum KLHK di lapangan, telah ditemukan dugaan kegiatan pemanfaatan ruang laut tanpa izin, reklamasi tanpa izin, hingga perusakan ekosistem mangrove," kata Adin dalam keterangannya, Senin (10/7/2023).
Dikatakan Adin, Pangkalan PSDKP Batam telah mensinyalir adanya perusakan ekosistem mangrove akibat proyek reklamasi yang berjalan pada lokasi tersebut.
Kata dia, dugaan ini kemudian diverifikasi melalui pemeriksaan citra satelit dan potret via udara bahkan teridentifikasi adanya perubahan perairan dan ekosistem mangrove pada lokasi lahan reklamasi.
"Mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tindakan yang dilakukan PT. DIA dapat dikategorikan pelanggaran pidana. Untuk itu, akan kami akan lakukan proses hukum lebih lanjut sesuai aturan yg berlaku," ungkapnya.
Adin menegaskan, untuk kepentingan proses hukum lebih lanjut operasional proyek PT. DIA dihentikan dengan dilakukan Pemasangan Garis Polsus dan Papan Penutupan Lokasi oleh Polsus PWP3K pada Kamis (6/7).
Selain proses pemeriksaan untuk dugaan pelanggaran pidana, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PT. DIA juga diduga telah memenuhi kriteria pelanggaran administratif.
"Terkait pelanggaran reklamasi dan ruang laut badan jalan yang sudah eksisting, akan dikenakan sanksi administratif mengacu pada PP 21 tahun 2021, Permen KP 28 tahun 2021, dan Permen KP 31 tahun 2021 yang mengatur sanksi Administratif," ungkap Adin.
Terakhir Adin menyampaikan, usai penyegelan KKP akan melakukan pemeriksaan terhadap Penanggungjawab PT. DIA untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.