TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pelaku usaha kelapa sawit di Tanah Air mengeluhkan ketidakpastian berusaha karena maraknya lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki pelaku usaha secara bersih dan jelas, namun diklaim beberapa institusi menjadi lahan kawasan hutan.
Hal itu mengakibatkan lahan tersebut tidak bisa digunakan sebagai area produksi. Hal tersebut ditengarai terjadi karena tumpang tindih peraturan, produk regulasi pemerintah yang tak diakui oleh pemerintah sendiri.
Aturan di level daerah yang mengkategorikan lahan ke dalam kawasan hutan sehingga lahan tersebut tidak produktif meski telah mengantongi HGU.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino mengatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah termasuk lintas kementerian dan lembaga perlu duduk bersama untuk merumuskan satu acuan khusus terkait dengan legalitas lahan.
"Misalnya dalam konteks HGU, SHM (Sertifikat Hak Milik), atau HGB (Hak Guna Bangunan), itu kan produknya pemerintah tapi saat ini tidak diakui oleh pemerintah,” tutur Sadino saat dihubungi, Selasa (26/9/2023).
Menurutnya pemerintah wajib memberikan jaminan kepada pengusaha kelapa sawit dengan HGU. Lahan-lahan seperti itu, kata Sadino, tidak boleh dimasukkan ke dalam kawasan hutan.
Sebaliknya pemerintah wajib memberikan jaminan kepada pengusaha kelapa sawit yang memiliki HGU sehingga lahan yang dikelola tidak tumpang tindih dengan ketentuan yang berpotensi menciptakan ketidakpastian berusaha.
"Harus ada harmonisasi agar aturan yang lebih rendah tidak menyimpang dari aturan yang lebih tinggi. Kalau tidak produksi bisa terhambat," ujarnya.
Baca juga: Konflik Warga Soal Lahan Sawit PT HMBP: Milik Keluarga Tjajadi
Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatkan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasai Penerimaan Negara, guna menyelesaikan persoalan pada usaha sawit ini.
Satgas mensyaratkan self-reporting yang harus dilakukan perusahaan kelapa sawit melalui sistem informasi SIPERIBUN, demi memberikan data dan informasi yang baik.