Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF Kristalina Georgieva memperingatkan masyarakat internasional agar mewaspadai ancaman krisis ekonomi lantaran membengkaknya utang sejumlah negara.
Kristalina Georgieva menjelaskan, rasio utang publik global terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus naik 1 persen per tahun, lebih cepat dari pertumbuhan utang sebelum pandemi Covid-19.
"Karena selama beberapa tahun terakhir, pemerintah maupun pelaku bisnis harus meminjam untuk mempertahankan fungsinya. Akibatnya utang menumpuk di mana-mana dan lebih tinggi dari yang seharusnya," kata Kristalina dalam agenda Joint IMF, Jumat (13/10/2023).
Georgieva tak merinci snegara mana saja yang saat ini tengah menghadapi tekanan utang terbanyak.
Namun, para ekonom meyakini lonjakan ini 80 persen berasal dari penumpukan utang dari negara-negara maju seperti AS, Jepang, Inggris dan Perancis. Sementara sisanya berasal dari negara berkembang dengan perekonomian besar yakni China, India dan Brasil.
Sebelum utang global membukukan kenaikan tajam di kuartal tahun ini, IMF telah memperingatkan sejumlah negara termasuk Amerika dan China untuk aktif memerangi inflasi atau menjaga stabilitas harga.
IMF juga gencar menyerukan langkah konsolidasi fiskal jangka menengah dengan cara memperketat kebijakan belanja, sambil mencari sumber pendapatan negara dari sisi domestik.
Baca juga: Imbas Perang, IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Tahun Depan Jadi 2,9 Persen
Diantaranya, dengan menaikkan pajak bagi masyarakat kaya, mengakhiri keringanan pajak untuk produksi bahan bakar fosil, serta menaikkan atau menghapus batas pendapatan pajak Jaminan Sosial.
Meski strategi ini akan membuat pembiayaan semakin ketat dan dapat memukul pasar, namun IMF optimis pengetatan fiskal dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan dengan begitu beban utang konsumen suatu negara dapat melandai ke zona aman.
Baca juga: IMF Minta ASEAN Waspadai Kenaikan Suku Bunga Hingga 2025
"Penerapan kebijakan fiskal yang lebih ketat terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan rendah, menjadi semakin penting untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar hidup masyarakat. " ujar Kristalina dalam laporan tertulisnya.