Said menjelaskan, mogok nasional tersebut dilakukan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh.
"Dengan demikian mogok nasional hanya istilah berdasarkan UU 21/2000 di tingkat nasional diorganisirnya oleh serikat buruh, federasi, dan konfederasi di tingkat nasional," jelasnya.
Selanjutnya, Said mengatakan, dasar hukum lain soal mogok nasional tersebut, yakni berdasarkan UU Nomor 9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
"Serikat buruh punya wewenang dan fungsi bisa melakukan pemogokan. Bentuknya adalah unjuk rasa. Karena ini nasional, maka namanya mogok nasional, bukan mogok kerja sebagaimana diatur UU 13 tahun 2023," ucap Said Iqbal.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu menyampaikan, mogok nasional rencananya bakal dilakukan di antara tanggal 30 November - 13 Desember 2023.
Buruh Sebut Mogok Nasional Bakal Lumpuhkan Ekonomi
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, mogok nasional akan dilakukan jika upah tak naik sesuai harapan buruh, yaitu sebesar 15 persen.
Said yang juga Presiden Partai Buruh itu menyebut tujuan dari mogok nasional ini bukan lah menghancurkan perekonomian RI, tetapi melumpuhkan perekonomian RI.
"Tujuanya untuk menghancurkan? bukan. Tujuan mogok itu melumpuhkan ekonomi secara nasional dan perusahaan secara tingkat mikro," katanya dalam konferensi pers secara daring, Minggu (19/11/2023).
Ia mengatakan, buruh telah memberi usulan kenaikan upah, tetapi ditolak. Said mengklaim, pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bersatu menekan buruh, sehingga buruh melawan.
Bentuk melawan itu adalah mogok nasional, bukan mogok kerja. Mogok dalam bentuk unjuk rasa, Said sebut itu dinamakan mogok nasional.
"Kalau dia tidak mau dilumpukan, tetap memaksa kehedak, ya kita lihat saja nanti perkembangannya," ujar Said.
Ketika ditanya berapa proyeksi kerugian perekonomian RI dari mogok nasional ini, Said menyinggung jumlah kerugian dari mogok nasional yang sebelumnya pernah dilakukan pada 2012 dan menjelang 2014.
Saat itu presidennya masih Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomiannya adalah Hatta Rajasa.
"Waktu itu Pak Hatta Rajasa menyampaikan kepada kami, lebih dari 200 triliun kelumpuhannya," ujar Said.