Harga mahal ini disebut Bhima akan terjadi karena adanya perebutan stok beras di pasar global yang menyebabkan harga naik.
Impor dengan harga mahal juga akan membuat defisit APBN melebar, serta risiko juga ke pelemahan nilai tukar rupiah karena pemerintah impor beras pakai dolar.
Ketiga, ketergantungan impor yang sangat membahayakan bisa berdampak ke disinsentif bagi petani khususnya usia muda untuk melanjutkan usaha pertanian.
"Sektor pertanian jadi kurang diminati karena kalah dengan banjir impor dari luar negeri," ujar Bhima.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita mengungkap saat ini Indonesia kesulitan mengimpor beras.
Ia mengatakan, sekarang tidak gampang mendapat beras impor padahal banyak negara yang telah menawarkan.
Namun, dari banyaknya negara itu, banyak juga dari mereka di tengah-tengah perjalanan, membatalkan kontraknya.
Menurut dia, hal ini karena sekarang Eropa ikut membeli beras juga sebagai dampak dari pembatasan gandum.
"Eropa belinya lebih tinggi (nilainya) daripada kita," kata Febby dalam diskusi bertajuk Pelayanan Publik Dalam Kebijakan Perberasan Menjelang Tahun Pemilu 2024, Jumat (17/11/2023).
Ia mengatakan, tak usah Eropa, negara tetangga RI, Filipina, bisa membeli beras impor dengan nilai lebih tinggi daripada Indonesia.
Saat ini, kata Febby, Indonesia sedang banyak mengimpor beras dari Vietnam. Lalu, diungkapkan bahwa RI baru saja kedatangan beras impor dari Thailand, Pakistan, dan Kamboja.
"(Jumlahnya) sedikit banget paling 5.000-10.000 ton yang bisa masuk dari Thailand sekarang. Mudah-mudahan awal tahun Vietnam panen bisa juga dapat," ujarnya.