Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk melakukan evaluasi rencana implementasi sistem pembayaran tol elektronik berbasis Multi Lane Free Flow (MLFF) dengan penerapan teknologi deteksi satelit (GNSS).
Hal tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Peduli Tol Indonesia (KAMTI).
Berdasarkan kajian dan informasi yang KAMTI dalami, penerapan sistem MLFF ini telah mengalami tiga kali penundaan.
Baca juga: RITS Terima Delegasi Malaysia, Perkenalkan Teknologi Sistem Transaksi Tol Nirsentuh MLFF
Pertama, adalah Desember 2022; Kedua, 1 Juni 2023, dan terakhir menurut informasi KAMTI pada 1 Desember 2023. Berdasarkan keterangan Menteri PUPR, uji coba terbatas baru akan dilaksanakan pada 12 Desember 2023 ini.
"Mencermati perkembangan di atas, kami memandang penarapan system MLFF ini penuh ketidakpastian. Hal ini jelas merugikan masyarakat, terutama pengguna jalan tol," kata Jaringan Aktivis Transparansi dan Keadilan Nasional (Jatken) Sahrul RM di Jakarta, Minggu (10/12/2023).
Hal tersebut, kata Sahrul, merusak citra Pemerintah Presiden Jokowi yang akan berakhir tahun depan, merugikan badan usaha jalan tol (BUJT) sebagai pengembang dan investor jalan tol.
Padahal, saat menetapkan Badan Usaha Pelaksana (BUP) Sistem MLFF, yakni PT. Roatex Indonesia Tol System (RITS), pemerintah bersama BUP, menjanjkan sistem ini akan segera memdahkan masyarakat pengguna jalan tol, menjamin dan meningkatkan efisiensi penerimaan BUJT, mengurangi kemacetan di pintu tol, serta mengurangi polusi dan mengefisienkan pemakaian energi.
Baca juga: Roatex Toll System Rombak Manajemen, 20 Karyawan Terkena PHK
"Atas perkembangan yang kami catat di atas, maka kami ingin menyoroti aspek yang perlu mendapat penjelasan secara terang benderang dari Pemerintah," terang Sahrul.
Pertama, menurut KAMTI, Pemerintah perlu memberikan penjelasan secara transparan, mengapa penerapan sistem ini mundur terus. Faktor-faktor apa yang menyebabkan penundaan. Apakah ada aspek kompetensi atau aspek teknologi yang belum proven, atau aspek lainnya.
"Dengan tidak adanya penjelasan yang pasti KAMTI melihat penundaan ini disebabkan oleh teknologi yang memang tidak pernah siap dan sesuai untuk diimplementasikan di Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila BUJT merasa tidak yakin akan teknologi yang akan diterapkan ini," imbuh Sahrul.
Baca juga: Operasional MLFF Akan Gunakan 400 Gantry, Roatex Indonesia: 2 Sudah Terpasang
Kedua, KAMTI mempertanyakan, soal Pemerintah dalam hal ini Menteri PUPR, mewakili Pemerintah RI, sebagai pemilik proyek MLFF, konsisten berpegang pada Perjanjian Kerjasama dengan BUP?
"Oleh karena itu kami ingin menanyakan sejauh mana pemerintah bersedia memegang kontrol penuh sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Pertanyaan ini timbul dari kekhawatiran akan adanya potensi pengaruh asing dalam pengambilan keputusan yang harus dilakukan oleh pemerintah," sambung Sahrul.
Baca juga: Operasional MLFF Akan Gunakan 400 Gantry, Roatex Indonesia: 2 Sudah Terpasang
Ketiga, menurut KAMTI, Pemerintah harus terbuka kepada publik dan masyarakat luas, apakah BUP ini memang memiliki pengalaman dan kompetensi yang mumpuni , baik ditinjau dari aspek teknlogi, modal dan kemampuan manajemen untuk melaksanakan penerapan system ini untuk seluruh Indonesia.
"Keempat, apakah dalam menetapkan BUP, PT Roatex Indonesia Toll System, Pemerintah sudah mengkaji, perusahaan ini memenuhi seluruh ketentuan dalam peraturan perundangan mengenai Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Setahu kami, BUP ini menerapkan 100 persen modal dan manajemen dari Hungaria. Apakah ini sesuai dengan ketentuan BUP KPBU?" kata Sahrul.
Kelima, KAMTI mengkhawatirkan terkait dengan aspek alih teknologi dalam penerapan sistem tersebut.
Keenam, KAMTI menentang atas tindakan BUP yang tidak mencerminkan semangat sinergitas dan selalu menyatakan tidak ada peran pemerintah dalam investasi awal teknologi ini, karena semua sudah ditanggung oleh BUP.
"Ketujuh, meminta penjelasan terkait komposisi tenaga ahli yang ada di proyek ini, berapa perbandingan antara tenaga lokal dan asing?" terang Sahrul.
Kedelapan, soal kesiapan infrastruktur dan pihak penunjang. Kesembilan, soal tingkat literasi teknologi masyarakat:
"Atas berbagai aspek yang kami pertanyakan di atas, kami meminta Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian PUPR sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), bersama-sama pemangku kepentingan lainnya dan masyarakat pemerhati, untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas penyelenggaraan proyek ini," kata Sahrul.