TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri sawit Indonesia untuk pasar ekspor terutama ke Eropa terancam oleh rencana penerapan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-free Regulation (EUDR).
UU Anti Deforestasi sendiri baru akan diterapkan pada awal Januari 2025. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan produk yang masuk ke pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan bebas deforestasi.
Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang diatur dalam UU Anti Deforestasi Uni Eropa. Ada potensi ekspor produk sawit Indonesia menjadi sulit ke negara-negara Uni Eropa dengan adanya beleid tersebut.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, saat ini para petani sawit dinilai menjadi pihak yang paling terdampak oleh UU Anti Deforestasi Uni Eropa.
Sebab, produk-produk mereka tidak bisa dijual ke pasar ekspor, khususnya ke Uni Eropa.
"Petani sawit bisa keluar dari rantai pasok dengan adanya UU Anti Deforestasi," ujar Eddy, Rabu (28/2).
GAPKI bersama pemerintah telah meminta kepada Uni Eropa untuk menunda implementasi UU Anti Deforestasi sampai tahun 2026 mendatang.
Upaya ini dilakukan agar pemerintah dan para pelaku industri sawit punya waktu persiapan lebih panjang, sekaligus dapat terus melakukan pendekatan kepada Uni Eropa agar regulasi tersebut tidak memberatkan Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga sudah melakukan joint task force bersama Komisi Uni Eropa sejak pertengahan 2023 guna memperkuat kerja sama agar UU Anti Deforestasi tidak merugikan kedua negara.
"Upaya membuka pasar baru juga terus dilakukan," kata Eddy.
Ada kekhwatiran penerapan UU Anti Deforestasi berpotensi menggerus ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa yang sebenarnya sudah cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2021, ekspor CPO Indonesia ke kawasan Uni Eropa tercatat sebanyak 4,63 juta ton. Berlanjut ke 2022, ekspor CPO ke Uni Eropa berkurang menjadi 4,1 juta ton, kemudian kembali anjlok menjadi 3,7 juta ton pada 2023.
Secara keseluruhan, kinerja ekspor industri sawit Indonesia memang tidak terlalu menggembirakan bahkan sejak 2019 silam.
Data GAPKI menunjukkan bahwa ekspor produk-produk minyak kelapa sawit Indonesia pernah mencapai 37,4 juta ton pada 2019.
Di 2020 yang bersamaan dengan pandemi Covid-19, ekspor minyak sawit Indonesia menyusut menjadi 34 juta ton.
Tren penurunan ini terus berlanjut pada 2021 dengan volume ekspor minyak sawit hanya mencapai 33,6 juta ton.
Ekspor minyak sawit Indonesia lagi-lagi turun menjadi 33,15 juta ton pada 2022. Berlanjut pada 2023, ekspor minyak sawit Indonesia kembali turun menjadi 32,21 juta ton.
Eddy menilai, kinerja ekspor sawit nasional sangat bergantung pada kondisi ekonomi dari negara-negara pengimpor.
Ketika negara importir sawit mengalami perlambatan ekonomi, kemungkinan besar mereka mengurangi permintaan ekspor, termasuk Indonesia.
GAPKI memprediksi, ekspor minyak sawit Indonesia bakal kembali mengalami penurunan pada 2024 dengan proyeksi sekitar 30 juta ton.
Proyeksi tersebut didasari oleh kondisi ekonomi global yang masih dipenuhi banyak tantangan sepanjang 2024 berjalan. Risiko perlambatan ekonomi masih menghantui sejumlah negara, termasuk negara maju.
Sebagai contoh Amerika Serikat masih dilanda inflasi tinggi. China sebagai konsumen minyak sawit terbesar juga masih bergulat dengan ancaman pelemahan ekonomi pasca pandemi.
"Begitu juga dengan Eropa yang kondisi ekonominya melemah akibat defisit fiskal yang meningkat dan diiringi inflasi tinggi," tukas Eddy.
Dalam catatan GAPKI, China masih menjadi negara tujuan ekspor sawit terbesar Indonesia dengan penjualan 7,7 juta ton pada 2023.
Kemudian diikuti India sebanyak 5,9 juta ton, Afrika 4,2 juta ton, Uni Eropa 3,7 juta ton, dan Amerika Serikat 2,5 juta ton.
Laporan reporter Dimas Andi dan Rashif Usman | Sumber: Kontan