Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, mengatakan ada peran penting batu bara sejarah peradaban dunia revolusi Inggris dan Amerika Serikat. Ada temuan menarik Eropa dan US kalah dagang dengan Cina dan India dalam 15 tahun terakhir. Kalau dilihat lebih dalam lagi bauran energi kedua negara ini batu bara india 70 persen dan China 60-65 persen.
“Artinya, jangan-jangan transisi energi ini tidak pure soal lingkungan, tapi ada geopolitik. Eropa tidak memiliki cadangan batu bara,” kata Komaidi.
Menurut Komaidi, batu bara memiliki keterkaitan dengan 76 sektor pendukung dari sekitar 186 sektor pendukung di Indonesia. Hal ini ada keterkaitan kebelakang dan ke depan dalam konteks industri batu bara.
“Kalau ada investasi 1 akan menghasilkan 5,45 satuan. Artinya, kalau ada Rp1 triliun, maka nilai tambah ekonomi itu sebesar Rp 5,35 triliun itu kisarannya di situ,” katanya.
Komaidi juga mengungkapkan poin penting batu bara terhadap listrik. Jika melihat biaya pembangkitan per KWh dari angka-angka yang ada batu bara termurah, bahkan di dalam kelompok fosil.
“Sebagian besar produksi listrik kita saat ini di batu bara sekitar 66,98 persen dari batu bara. Coba diganti PLTU dengan PLTS, akan naik tarifnya 30-an persen. Bahkan dalam realisasinya, kalau backup system dihitung, lebih tinggi lagi biayanya,” katanya.
Komaidi mengatakan perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua fosil, tapi yang mengubah tatanan ekonomi dunia teknologi, yang akan ubah tantangan transisi energi dunia juga teknologi. Jika suatu hari ada teknologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai.
“Kita ikut transisi energi, tapi pilihan cara, kita nggak harus didikte negara-negara Eropa. Kita negara kepulauan, banyak argumentasi kenapa kita tidak memaksakan diri tapi tetap harus ikut arus global,” kata Komaidi.