"Kami akan memastikan nilai tukar (Rupiah) akan terjaga. Kami lakukan intervensi baik melalui spot maupun non delivery forward (NFD)," ujar Perry.
"Kami jajakan koordinasi dengan pemerintah, dengan fiskal bagaimana menjaga moneter dan fiskal. Kami pastikan kami di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi," katanya lagi.
Menurut Perry, Presiden Jokowi juga nantinya akan melakukan langkah khusus agar nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terus terjaga. "Nanti ada (arahan Presiden)," ujarnya.
Pakar Ekonomi dari Center of Reform on Economic (Core), Mohammad Faisal kebijakan fiskal dan moneter yang dikeluarkan pemerintah harus lebih akomodatif dan responsif guna menjaga agar daya beli masyarakat tidak terpuruk imbas pengaruh global dalam hal ini perang di wilayah Timur Tengah.
"Kalau di fiskal harus lebih akomodatif kalau dari sisi moneter harus memperhatikan hal-hal yang menghambat sektor riil," ujar Faisal.
Menurut Faisal hal yang perlu diantisipasi juga adalah kenaikan harga minyak yang bisa berdampak kepada kenaikan harga BBM di dalam negeri.
Pemerintah lanjutnya harus menghindari kebijakan fiskal yang justru lebih ketat.
"Artinya sekarang kebijakan fiskalnya harus lebih longgar menghindari kebijakan-kebijakan yang menekan konsumsi dan daya beli masyarakat. Dan kalau melihat kondisi eskalasi di Timur Tengah sebelum perang kan justru kebijakan fiskalnya lebih ketat ya dengan PPN 12 persen, cukai dan lain lain dan ini yang harus dihindari. Termasuk pembatasan subsidi yang harus dihindari juga. Karena antisipasi harga minyak yang bakal bikkn kenaikan harga BBM," kata Faisal.
Dari sisi moneter kata Faisal harus memperhatikan hal-hal yang bisa menghambat sektor riil terutama tingkat suku bunga. Jangan sampai nanti apabila The Fed merespon kondisi geopolitik di Timur Tengah dengan menaikkan tingkat suku bunganya pemerintah Indonesia jangan ikutan.
"Tapi lebih mencari cara yang lain. Misal kalau tidak dinaikkan suku bunga jadi pelemahan nilai tukar rupiah. Maka untuk mengurangi pelemahan tersebut bisa dengan instrumen menggelontorkan cadangan Devisa misalnya. Karena cadangan devisa kita juga cukup banyak. Fiskal dan moneter harus akomodatif jangan sampai daya beli masyarakat terpuruk," kata Faisal.
Pakar Ekonomi Bhima Yudhistira menyebut guna mendukung kebijakan sektor riil harus paralel dengan menekan impor barang pangan dan barang konsumsi. Hal itu lantaran penyebab melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS bukan hanya perang Iran-Israel saja tetapi juga melemahnya pengaturan impor.
"Barang impor dari mulai beras 3 juta ton, bawang putih sampai terbukanya impor barang lewat e-commerce itu melemahkan sektor riil dan rupiah sekaligus. Tiap impor pangan pakai dolar AS ya jeblok rupiahnya. Bagaimana sektor pertanian mau produktif, harganya kalah saing dengan impor pangan," ujar Bhima.
Karena itu lanjut Direktur Center of Economic and Law Studies ini kurang lengkap jika hanya jargon mendorong sektor riil tanpa ada langkah nyata membatasi impor.
"Efektifnya ya perketar impor dan perkuat produksi dalam negeri," kata Bhima.(Tribun Network/nis/wly)