Menurut Ananda, krisis pangan global seringkali dipicu oleh perubahan iklim, bencana alam, virus, perubahan ekonomi dan geopolitik yang menyebabkan negara-negara berkembang rentan menghadapi kelangkaan pangan.
"Menelusuri jejak nilai tukar menunjukkan bahwa hubungan antara ekonomi dan ketahanan pangan sangat kompleks. Dengan kolaborasi dan inovasi, kita dapat mengatasi tantangan ini dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045," ujar Ananda.
Pengamat Energi Iwan Bento Wijaya mengatakan bahwa perubahan nilai tukar dapat berpengaruh secara langsung terhadap perubahan harga barang dan jasa di dalam negeri dimana modal produksi barang dan jasa akan naik dan mempengaruhi harga jual barang dan jasa yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat, angka perekonomian negara dan meningkatkan angka inflasi.
Kebijakan moneter dan kebijakan ekosistem perekonomian sangat diperlukan sebagai instrumen negara dalam mengintervensi pasar untuk menjaga nilai tukar, daya beli masyarakat, serta menekan laju inflasi.
“Sektor migas, pangan, dan pupuk merupakan salah satu komoditas utama yang memiliki dampak strategis bagi perekonomian nasional, bila terjadi pelemahan terhadap rupiah maka subsidi menjadi salah satu instrumen negara dalam menjaga stabilitas perekonomian. Subsidi menjadi diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mewujudkan keadilan terhadap akses energi dan pangan,” papar Iwan.
“Pelemahan terhadap rupiah juga memiliki efek terhadap menambahnya biaya produksi, yang dalam hal ini sangat menguras modal produksi para pelaku usaha termasuk BUMN. Minyak, pupuk dan pangan menjadi komoditas yang menjadi salah satu sektor impor terbesar, maka perlu adanya langkah strategis pemerintah untuk membuat rupiah menguat, karena pelemahan rupiah ini benar-benar dapat menjadi beban terhadap APBN dan modal usaha bagi pelaku usaha dan BUMN,” tambahnya.