Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyoroti semakin menurunnya jumlah pekerja imbas masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi hingga saat ini.
Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat mengungkapkan, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sejak Januari sampai Juni 2024, jumlah buruh yang menjadi korban PHK sebanyak 32.064.
Namun, ia meyakini data yang sesungguhnya bisa 2 kali lebih besar dari jumlah tersebut, sekitar 62 ribu orang.
"Kenapa ada perbedaan data? karena banyak perusahaan tidak melaporkan jumlah pekerja yang di PHK kepada Dinas tenaga kerja setempat. Biasanya sudah ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di internal sehingga tidak ada pelaporan ke Dinas Tenaga Kerja," ungkap Mirah dalam pernyataannya, Minggu (11/8/2024).
Baca juga: Badai PHK Masih Berlanjut, ASPEK Sebut Sektor-sektor yang Bakal Terkena
Ia melanjutkan, banyak juga pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan, hal ini berpengaruh dengan data yang digunakan oleh pihak Kementerian.
Karena pihak Kementrian Ketenagakerjaan selalu menggunakan data dari BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan klaim dari buruh terhadap Jaminan Hari Tua (JHT) yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Mirah Sumirat menyampaikan pula, bahwa mereka yang terkena PHK sebagian besar beralih menjadi wirausaha skala kecil, misalnya menjadi pedagang makanan kaki lima, hal ini diperkuat dengan jumlahnya yang semakin besar.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa jumlah pekerja sektor informal di Indonesia bertambah dalam 5 tahun terakhir.
Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74.09 juta orang atau 57,27 persen dari total penduduk Indonesia yang bekerja.
Sedangkan pada Februari 2024 naik menjadi 84,13 juta orang atau 59.17 persen dari total penduduk bekerja. Artinya mereka memiliki pendapatan tidak tetap dan cendrung bertambah miskin, sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
"Sebagian lagi beralih menjadi Driver Online, kerja serabutan, dan pekerjaan lain-lain," ungkap Mirah.
Dirinya menyampaikan pula, hal lain yang menjadi penyebab daya beli turun adalah kebijakan upah murah sejak tahun 2015 yaitu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan hal ini telah mereduksi fungsi dewan pengupahan dan mereduksi komponen perhitungan upah dalam hal ini menghilangkan Komponen Hidup Layak ( KHL).
Lalu disusul dengan di keluarkan Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja yang semakin menegaskan PP 78/2015 terkait upah murah.
Mirah melanjutkan bahwa penyebab lainnya adalah melambungnya harga kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar (sembako), hal ini berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang semakin rendah.
Melambungnya harga pangan dan kebutuhan dasar yang tidak tekendali sejak tahun 2021 naik rata-rata sekitar 20 persen, dan sampai saat ini tetap tidak bisa tekendali.
Kebijakan politik upah murah ini terbukti membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar, ini bisa berakibat tidak baik untuk kita berbangsa dan bernegara.
Tak hanya sampai disitu, bergesernya revolusi industri 4.0 dan kini menjadi 5.0 yang kurang diantisipasi oleh pemerintah, turut memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan pekerja
Diketahui, seiring berjalannya kemajuan industri, kecerdasan buatan telah menggeser keberadaan buruh.
"Dimana banyak tenaga manusia diganti dengan mesin (otomatisasi) yang menambah penyebab pekerja kehilangan pekerjaan, kalaupun ada yang bekerja status mereka bukan sebagai karyawan tetap, tapi sebagai pekerja kontrak, harian lepas, dimana setiap saat bisa di putus kontraknya tanpa mendapat pesangon," pungkasnya.