Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara mengenai usul Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi insentif fiskal kepada industri tekstil.
Opsi insentif yang Sri Mulyani pertimbangkan antara lain adalah insentif perpajakan seperti tax allowance dan tax holiday.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita memandang jika insentif seperti itu hanya akan berlaku jika industri tekstil sedang dalam posisi yang untung.
"Kalaupun ada insentif, itu kan [bisa dirasakan] ketika dia untung. Kalau enggak untung, tidak akan berdampak," katanya ketika ditemui di sela-sela Pameran Asta Kriya Nusantara yang berlangsung di Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (20/8/2024).
Baca juga: Kemenperin Klaim Perayaan HUT ke-79 RI Bantu Pemulihan IKM Tekstil: Tiba-tiba Banyak Order
Dalam tax holiday, fasilitas yang akan didapat sebuah perusahaan adalah pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Nah, PPh Badan akan dibayarkan jika perusahaan tersebut dalam posisi untung. Masalahnya, saat ini industri tekstil tengah tertekan, yang mana banyak perusahaan sedang merugi.
Jadi, Reni memandang bahwa insentif ini tidak akan berpengaruh karena industri tekstil sedang merugi.
"PPh Badan itu dibayar ketika dia untung. Kalau dia rugi kan mau ada insentif apa juga enggak ngaruh untuk dia," ujarnya.
Untuk perusahaan tekstil bisa untung, mereka harus menjual sesuai dengan kapasitas produksi yang mereka miliki.
Reni menegaskan bahwa saat ini yang dibutuhkan industri tekstil adalah perlindungan dari gempuran produk impor.
"Kalau kita sebenarnya [butuh] untuk perlindungan. Kalau memang di dalam negeri ada, seharusnya kan pemerintah tidak buka keran impor yang banyak," pungkas Reni.
Akhir-akhir ini, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menjadi sorotan karena tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak di antara perusahaan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai daya saing di industri tekstil memang terus menurun, terlihat dari banyaknya relokasi pabrik merek pakaian jadi global.
"Mereka ke Vietnam, Bangladesh, bahkan ke Ethiopia," ujar Bhima saat dihubungi, Jumat (21/6/2024).
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan TPT termasuk pakaian jadi mengalami kontraksi pada triwulan II 2024.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud mengatakan, industri TPT dan pakaian jadi pada triwulan II tahun 2024 terkontraksi minus 0,03 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
"Jadi terkontraksi, tetapi kalau dilihat dari besarannya cukup kecil ya 0,03 persen," kata Edy dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/8/2024).
Ia mengatakan, bila melihat secara quarter-to-quarter (qtq), pertumbuhan industri TPT dan pakaian jadi itu juga terkontraksi sebesar minus 2,63 persen.
"Jadi, untuk quarter dua tahun 2024, pertumbuhan industri tekstil pakaian jadi terkontraksi, baik secara year on year maupun secara qtq," ujar Edy.
Per Juni 2024, berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), ada enam perusahaan tekstil yang melakukan PHK karena menutup pabriknya.
Lalu, ada empat perusahaan yang melakukan PHK akibat efisiensi perusahaan.
Detailnya untuk enam pabrik yang melakukan PHK akibat pabrik tutup ada PT S Dupantex di Jawa Tengah PHK sekitar 700 pekerja. Lalu, ada PT Alenatex di Jawa Barat PHK sekitar 700 pekerja. Ada juga PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah PHK sekitar 500 pekerja.
Berikutnya, ada PT Kusumaptura Santosa di Jawa Tengah sekitar 400 pekerja. Ada PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah PHK sekitar 700 pekerja. Terakhir, ada PT Sai Apparel di Jawa Tengah PHK sekitar 8 ribu pekerja.
Sementara itu, untuk perusahaan yang melakukan PHK akibat efisiensi ada PT Sinar Panca Jaya PHK sekitar 2 ribu pekerja. Lalu, ada PT Bitratex di Semarang sekitar 400 pekerja.
Kemudian, ada PT Johartex di Magelang PHK sekitar 300 pekerja. Terakhir, ada PT Pulomas di Bandung sekitar 100 pekerja.