Simpang-siur terkait rencana pembatasan penjualan Pertalite disebut Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto sebagai indikator koordinasi di tingkat Pemerintah yang amburadul.
Masing-masing Menteri, imbuhnya, punya kemauan sendiri dan pada saat yang sama Presiden terkesan tidak peduli dengan urusan penting ini.
Mulyanto menilai Presiden Jokowi seharusnya dapat memberikan arahan yang jelas dan tegas terkait implementasi pembatasan penjualan BBM bersubsidi ini, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran tersebut.
“Saya lihat di tingkat pemerintah ini yang tidak kompak. Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali menyebut rencana tersebut akan diimplementasikan pada tahun anggaran 2025. Tetapi Menteri Teknis mewacanakan waktu implementasi yang berubah-ubah. Mulai dari 17 Agustus, menjadi 1 September, dan sekarang diwacanakan pada 1 oktober”, katanya.
“Selain itu Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga ingin kebijakan itu diatur cukup dalam Peraturan Menteri (Permen) tanpa merevisi Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Tentu hal ini akan mengundang perdebatan,” jelas Mulyanto.
“Kalau sekedar Permen kedudukan hukumnya tidak terlalu kuat dan meragukan keabsahannya,” tegas Mulyanto.
Ditambahkannya, kebijakan pengaturan terkait dengan BBM bersubsidi selama ini menjadi domain Presiden, bukan menteri. Menteri hanya melaksanakan kebijakan yang telah dibuat Presiden, bukan membuat norma baru terkait urusan yang bersifat strategis.
Mulyanto berpendapat kebijakan pembatasan penjualan BBM jenis Pertalite sebaiknya diatur melalui revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 dengan memasukkan kriteria kendaraan yang berhak membeli BBM jenis pertalite, agar tidak menimbulkan masalah hukum kelak kemudian hari.
Pasalnya dalam Perpres ini belum ada pengaturan terkait Pertalite. Sedang pembatasan untuk BBM jenis Solar sudah diatur di dalam Perpres tersebut.
Sementara itu, Perpres No. 117 Tahun 2021 tentang BBM khusus penugasan hanya mengatur wilayah distribusi BBM khusus penugasan, yakni meliputi seluruh wilayah Indonesia dan mengubah BBM khusus penugasan dari Premium RON 88 ke Pertalite RON 90.
Tidak ada pelimpahan amanat pengaturan kriteria kendaraan yang berhak membeli Pertalite kepada Menteri.
“Jadi bagusnya Pak Bahlil duduk bareng dengan Ibu Sri Mulyani untuk mencari titik-temu. Yang kompaklah. Jangan potong-kompas dan memaksakan diri dengan menerbitkan Permen pembatasan Pertalite sendiri”, tandas Mulyanto.
Tak Semua SPBU Jual Pertalite
Dari total 7.751 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, hanya 3 persen dari itu yang tidak lagi menjual Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Lebih tepatnya, hanya 235 SPBU Pertamina yang tidak lagi menjual BBM Pertalite. Jadi, masih ada 7.516 SPBU Pertamina lainnya yang masih menjual Pertalite.