News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jaga Keseimbangan IHT, PPKE FEB Universitas Brawijaya Rekomendasi 3 Hal ke Pemerintah

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Menavigasi Kenaikan Tarif Cukai dan Peredaran Rokok Ilegal Demi Menjaga Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia'.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyatakan, kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru berisiko menumbuhkan peredaran rokok ilegal.

Hasil kajian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara harga terhadap permintaan rokok. 

Hal tersebut disampaikan Direktur PPKE FEB UB, Prof Candra Fajri Ananda dalam FGD 'Menavigasi Kenaikan Tarif Cukai dan Peredaran Rokok Ilegal Demi Menjaga Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia'.

Prof Candra menyampaikan rokok golongan I punya elastisitas harga yang negatif dan lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan konsumen rokok golongan II dan III.

"Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri hasil tembakau (IHT), di mana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan I sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT)," kata Prof Candra dalam keterangannya, Senin (30/9/2024).

Ia menyebut saat tarif cukai naik dan harga rokok golongan I melambung, konsumen yang sensitif terhadap harga memilih rokok golongan II dan III atau lebih murah. Hal ini mencerminkan, jumlah total rokok yang dikonsumsi tidan berkurang, tapi cuma konsumsi yang bergeser.

Hasil kajian PPKE FEB UB juga menunjukkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai titik optimum, di mana kenaikan tarif lebih lanjut tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok. 

"Konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal atau produk dengan harga lebih murah. Hal ini tidak hanya mengurangi volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari CHT," kata Prof Candra.

Menurutnya, peredaran rokok ilegal di Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang terus naik. 

Meskipun pemerintah telah meningkatkan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, data memperlihatkan ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran juga alami peningkatan. 

Pada tahun 2023, hasil penelitian PPKE FEB UB mengungkapkan, lebih dari 40 persen konsumen rokok pernah membeli rokok polos tanpa pita cukai. 

Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh PPKE menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0 persen hingga 50 persen dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8 persen menjadi 11,6 persen.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi CHT yang hilang akibat peredaran rokok ilegal seiring dengan kenaikan tarif cukai, dari Rp4,03 triliun ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0 persen), hingga mencapai Rp5,76 triliun ketika cukai dinaikkan sebesar 50 persen.

"Ini menjadi indikasi bahwa kebijakan cukai yang terlalu ketat dapat memperparah peredaran rokok ilegal dan menimbulkan kerugian bagi negara," ujarnya.

Dalam konteks ini, PPKE FEB UB merekomendasikan 3 hal kepada pemerintah. 

Pertama, moratorium kenaikan tarif cukai untuk menjaga keberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sambil tetap menjaga stabilitas penerimaan negara.

Kedua, jika tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4 – 5 persen adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan.

"Pada tarif ini, penerimaan negara dari CHT cukup signifikan dan risiko peningkatan rokok ilegal lebih rendah," ujar Prof Candra.

Terakhir, PPKE berharap pemerintah terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal dan menyesuaikan harga rokok sesuai daya beli masyarakat. 

"Langkah-langkah ini perlu dilakukan agar kebijakan tarif cukai dapat memberikan solusi yang seimbang bagi konsumen, produsen, dan penerimaan negara," katanya. 

Menyikapi hasil kajian PPKE FEB UB, Sekjen Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Petrus Riwu merekomendasikan moratorium kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran selama 2025-2027, dan tidak menaikkan PPN. 

"Serta, lebih menggencarkan operasi penindakan rokok ilegal untuk menekan peredarannya," ujar Petrus. 

Sementara itu, Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Jawa Timur I, Untung Basuki mengatakan, saat ini peredaran rokok ilegal telah menyebar hingga ke wilayah Makassar, Lampung, dan Kalimantan. 

Diakui Basuki, sejatinya penindakan terhadap rokok ilegal telah meningkat, namun masih diperlukan strategi berbeda sesuai dengan wilayah.

"Tantangan pemerintah saat ini semakin sulit dalam melakukan pengawasan rokok illegal. Pasalnya, distribusi yang ada kini tidak lagi menggunakan metode konvensional melainkan melalui jalur logistik yang lebih rumit, seperti e-commerce," terang Basuki.  

"Pentingnya memanfaatkan teknologi, seperti penggunaan QR code pada pita cukai, untuk memitigasi peredaran rokok ilegal," tukasnya.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini