News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Tuai Kritik, Pakar Minta Lakukan Evaluasi

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek berisiko menyulitkan aktivitas pengawasan perihal rokok legal dan ilegal.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik tuai berbagai kritikan.

Pasalnya, aturan itu memasukkan ketentuan mengenai kemasan polos yang tidak memiliki landasan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (PP 28/2024).

Dengan adanya poin kemasan polos serta tidak dilibatkannya para pemangku kepentingan terkait dalam pembahasan RPMK, kebijakan tersebut dinilai perlu dikaji kembali agar tidak menimbulkan dampak signifikan bagi kelangsungan industri dan ekonomi nasional.

Baca juga: Tolak RPMK Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Petani Tembakau dan Cengkeh Merasa Diabaikan Kemenkes

Pakar hukum dari Universitas Trisakti Ali Ridho menjelaskan penyusunan RPMK telah melenceng dari mandat PP 28/2024.

Sebab, di dalam PP 28/2024 hanya mengatur terkait jenis gambar peringatan, bukan mengatur kemasan polos. Sehingga, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam aturan turunannya melampaui batas kewenangannya.

“Peraturan ini offside karena keluar dari jalur mandat yang diperintahkan di dalam PP 28/2024,” ujar Ali Ridho, Minggu (13/10/2024).

Baca juga: Pemerintah Belum Ratifikasi FCTC, Pakar Hukum Soroti RPMK Turunan PP 28/2024

Ali Ridho melanjutkan, RPMK tidak hanya melenceng dari PP 28/2024, namun juga dinilai bertabrakan dengan berbagai undang-undang lainnya.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara gamblang menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengetahui produk yang mereka beli. Selain itu, ada pelanggaran hak asasi manusia dalam RPMK.

“Di UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hal yang sama. Kalau kebijakan kemasan polos diterapkan, maka ada undang-undang yang dilanggar,” tegas dia.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan tersebut nantinya menciptakan kebingungan di masyarakat. Menurut Ali Ridho, konsumen jadi tidak mengetahui apakah produk yang digunakan legal atau ilegal.

“Padahal hak konsumen sudah digaransi di dalam undang-undang. Peraturan Kementerian yang ingin mencoba di luar jangkauannya, maka akan menciptakan potensi tabrakan dengan undang-undang,” kata Ali Ridho.

Baca juga: Kemenkes Mulai Sadar Banyak yang Kontra Pengaturan Produk Tembakau dalam RPMK

Polemik RPMK semakin diperparah karena minimnya pelibatan para pemangku kepentingan. Dengan kondisi tersebut, Ali Ridho meneruskan RPMK dapat dicap sebagai peraturan yang cacat formil karena aspek materiilnya bermasalah sehingga dapat dibatalkan.

“Jadi perlu pembahasan ulang dan duduk bersama dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang terdampak. Bukan hanya melibatkan masyarakat atau pihak-pihak yang mendukung kebijakan kemasan polos,” ucap dia.

Pelaku usaha dan konsumen di industri rokok elektronik juga telah menyuarakan agar Kemenkes mengevaluasi RPMK.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasmita, menyatakan pihaknya berharap RPMK tidak disahkan.

Sebab, kebijakan tersebut banyak menganut poin-poin dalam perjanjian internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan inisiatif World Health Organization dan tidak diratifikasi Indonesia, sehingga mengabaikan banyak pihak yang terlibat di dalam industri rokok elektronik.

“Semoga bisa diubah oleh pemerintahan yang baru. Kalau bisa, kami inginnya tidak perlu judicial review,” ungkapnya.

Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO), Paido Siahaan, menambahkan Kementerian Kesehatan seharusnya mempertimbangkan hak konsumen untuk memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terhadap produk yang mereka pakai.

Menghilangkan elemen merek (brand) dan informasi pada kemasan sama saja dengan menghambat konsumen untuk mendapatkan informasi produk sehingga dapat memutuskan produk yang tepat. Sehingga, rancangan aturan ini melanggar hak konsumen untuk mendapat informasi yang akurat.

“Kebijakan yang diambil haruslah seimbang, dengan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat sambil tetap melindungi hak konsumen dan memberikan pilihan yang lebih baik bagi perokok dewasa,” tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini