Pada awal Januari 2024, pemerintahan yang saat itu masih dipimpin Presiden Ketujuh RI Joko Widodo, telah menyiapkan skenario jangka panjang untuk memitigasi risiko bencana perubahan iklim di Pantura Jawa.
Skenario itu digagas melalui konsep Pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Laut.
Estimasi total kebutuhan anggaran pembangunan Tanggul Laut dan pengembangan kawasan serta penyediaan air baku dan sanitasi adalah sebesar Rp 164,1 triliun.
Skema pendanaan melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, berdasarkan data dari Kementerian PUPR, sudah ada Project Management Office (PMO) untuk giant sea wall ini.
Adapun hal ini disampaikan Airlangga dalam seminar nasional bertajuk "Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa Melalui Pembangunan Tanggul Pantai Dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall)" di Jakarta, Rabu (10/1/2024).
"Fase A pembangunan tanggul pantai dan sungai dan sistem pompa dan polder. Ini di wilayah (Pesisir Utara) Jakarta," ujar Airlangga.
Kemudian, Fase B itu merupakan pembangunan tanggul laut dengan konsep terbuka di wilayah barat pesisir Utara Jakarta.
Fase B harus dikerjakan sebelum tahun 2030 dengan asumsi penurunan tanah/land subsidence tidak dapat dihentikan.
Berikutnya, kata Airlangga, adalah Fase C yang ada di wilayah timur pesisir Utara Jakarta. Ini harus dikerjakan sebelum 2040.
Catatan, apabila laju penurunan tanah tetap terjadi setelah 2040, maka konsep Tanggul Laut Terbuka akan dimodifikasi menjadi Tanggul Laut Tertutup.
"Dengan di-launching hari ini oleh Pak Menteri Pertahanan, mungkin ini kita integrasikan semua menjadi sistem yang terintegrasi dari barat sampai ke timur," ujar Airlangga.
"Seminar ini mudah-mudahan bisa di-kickoff supaya ini bisa skalanya kita perbesar dan lebih masif lagi dan ini adalah program yang sifatnya transformatif," lanjutnya.