Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyatakan, stabilitas sektor jasa keuangan terjaga baik di tengah meningkatnya risiko geopolitik dan melemahnya aktivitas perekonomian global.
Mahendra mengatakan, kinerja perekonomian secara umum di dalam negeri terjaga stabil, di tengah lemahnya kondisi perekonomian global. Inflasi inti terjaga, serta neraca perdagangan tetap mencatatkan surplus pada bulan Juli 2024.
"Namun perlu dicermati, purchasing managers index, atau PMI manufaktur yang masih berada di zona kontraksi, serta pemulihan daya beli yg berlangsung relatif lambat," kata Mahendra dalam Konferensi Pers secara virtual, Jumat (1/11/2024).
Baca juga: Hadapi Tantangan di Sektor Asuransi, OJK Gabung ke Global Asia Insurance Partnership
Menurutnya, OJK terus mencermati perkembangan terkini dan dampaknya terhadap sektor jasa keuangan domestik di tengah pertumbuhan ekonomi global yang relatif rendah dan stagnan. Serta ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, dan perlambatan ekonomi Tiongkok.
"Lembaga jasa keuangan diminta untuk mewaspadai potensi risiko ke depan dan melakukan langkah mitigasi risiko yang diperlukan," paparnya.
Mahendra mengatakan, pertumbuhan ekonomi terindikasi mengalami divergensi di negara-negara utama, yaitu perekonomian Amerika Serikat (AS). Dia bilang, ekonomi di AS menunjukan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi semula, seiring dengan solidnya pasar tenaga kerja, serta membaiknya permintaan domestik.
Di Eropa aktivitas perekonomian mulai membaik, kata Mahendra hal itu terlihat dari naiknya penjualan ritel. Namun dari sisi manufaktur masih relatif tertekan, sementara itu pertumbuhan ekonomi ekonomi Tiongkok pada triwulan III masih menunjukkan perlambatan baik dari sisi permintaan, demand maupun pasokan, supply.
"Risiko geopolitik global yang menigkat turut menjadi tantangan bagi prospek perekonomian ke depan dan instabilitas yang terjadi Timur Tengah menyebabkan harga komoditas yang dianggap sebagai safe haven seperti emas meningkat tajam," ujar Mahendra.
"Perkembangan tersebut menyebabkan premi risiko menigkat dan kenaikan yield secara global, sehingga mendorong aliran modal keluar dari negara emerging dan negara berkembang, termasuk Indonesia," sambungnya.