PLTSa Solo menggunakan teknologi gasifikasi untuk mengolah sampah tanpa emisi berbahaya.
“Gasifikasi itu tidak menggunakan pembakar seperti solar, tapi termokimia."
"Sampah itu dikondisikan di tekanan tertentu, suhu tertentu, nanti akan terbakar sendiri dan menghasilkan syngas yang bisa digunakan untuk genset,” jelas Prabang.
Tidak semua sampah yang datang di TPA Putri Cempo langsung bisa diproses menjadi listrik di PLTSa Solo.
Prabang menjelaskan, sampah terlebih dahulu harus diseleksi.
“Untuk seleksi sampah, dipilih sampah kering, istilahnya Refuse Derived Fuel (RDF), gampangnya sampah krispi atau sampah cacah,” jelas Prabang.
Sedangkan bahan-bahan yang tidak mempan bakar, seperti kaca, bahan bangunan, keramik, hingga besi, tidak digunakan.
“Jadi seperti plastik, kulit pisang, kayu, semua bisa, yang mempan bakar,” ungkapnya.
Untuk menjadikan sampah benar-benar kering, membutuhkan waktu setidaknya 10 hari.
“Membuat RDF atau sampah krispi itu membutuhkan proses bio drying, dan memerlukan lahan cukup,” ujarnya.
Inilah yang saat ini masih menjadi salah satu faktor belum optimalnya PLTSa Solo.
“Setelah dihitung-hitung butuh lahan 2 hektar untuk menyediakan RDF, tetapi (lokasi TPA) penuh.”
“Maka mau tidak mau gunungan sampah harus dipapras sebagai lahan pengeringan,” ujarnya.
Sehingga, lanjut Prabang, masih memerlukan waktu untuk PLTSa Putri Cempo dapat secara maksimal bekerja mengolah sampah menjadi listrik.